WONOSOBO (Lintas Topik.Com) – Menjadi sopir ambulan mungkin tidak pernah ada dalam pikirannya . Setelah sekian tahun menjalani kerasnya hidup di jalanan sebagai sopir truk, takdir membawanya ke dunia yang sangat berbeda.
Sukur (52) adalah warga Kelurahan Leksono, Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo. Sejak November 2010, ia mengabdi sebagai sopir ambulans di lembaga sosial Lazis BMT Marhamah Wonosobo.
Awalnya dia ragu ketika ditawari menjadi sopir di lembaga tersebut, Sukur sempat ragu. Namun karena ingin hidup lebih teratur dan dekat dengan ibadah, ia memutuskan untuk mencoba.
“Saya ingin kerja yang tetap bisa buat nolong orang, dan juga bisa shalat tepat waktu,” kata Sukur saat ditemui belum lama ini.
Tidak Pernah Membedakan Layanan
Ambulans yang dikemudikan Sukur bisa digunakan oleh siapa saja. Tarifnya pun disesuaikan dengan kondisi ekonomi pasien.
Untuk masyarakat mampu, dikenakan biaya Rp4.000 per kilometer. Sementara warga kurang mampu cukup membayar seikhlasnya. Bagi yang tergolong dhuafa, layanan diberikan secara gratis. Cukup menunjukkan KTP dan KK serta SKTM.
Namun, menurut Sukur, kebanyakan pasien yang diantar justru berasal dari kalangan tidak mampu.
“Yang mampu biasanya sudah punya kendaraan sendiri,” jelasnya.
Tak jarang pula, pasien yang kurang mampu tidak membayar sama sekali karena memang tidak sanggup. Bagi Sukur, itu bukan masalah.
Berjibaku dengan Risiko dan Keterbatasan
Selama 15 tahun mengemudikan ambulans, Sukur telah mengantar banyak pasien, termasuk pasien rujukan ke rumah sakit besar seperti RSUP Sardjito di Yogyakarta.
Ia juga pernah menjalankan tugas berat saat bencana erupsi Merapi pada tahun 2010. Selama hampir 16 hari, Sukur bertugas di posko relawan di kawasan rawan bencana.
“Pernah sekali mobil saya dinaiki sampai 16 relawan buat dievakuasi. Saya nggak sadar saking paniknya,” kenangnya.
Mobil ambulans yang dulu dipakai jenis APV, kini sudah diganti dengan mobil diesel yang lebih hemat bahan bakar. Namun biaya operasional tetap jadi tantangan. Jika sedang defisit, Sukur mengajukan kembali ke manajemen.
Jika dalam tugasnya tidak ada keluarga pasien yang menemani, biasanya ia ditemani satpam dari kantor.
Tanpa Libur, Tanpa Mengeluh
Tak hanya pada hari-hari biasa, Sukur juga kerap menerima panggilan pada hari raya, termasuk Idul Fitri. Pernah suatu ketika, setelah bersilaturahmi dengan keluarga, ia langsung berangkat mengantar pasien ke luar kota.
“Karena pasiennya nggak darurat, jadi saya masih sempat salat dan kumpul dulu sama keluarga,” ujarnya.
Sukur juga dikenal tak pilih-pilih pasien. Tak hanya Muslim, pasien non-Muslim pun ia antar dengan sepenuh hati.
“Ini soal kemanusiaan, bukan agama,” tegasnya.
Mimpi Setelah Pensiun: Fokus Ibadah
Kini, Sukur mulai berpikir untuk pensiun dalam 3–4 tahun ke depan. Ia ingin lebih fokus beribadah dan menghabiskan waktu bersama keluarga.
Ia juga aktif sebagai relawan di Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), dan tetap siap jika sewaktu-waktu dibutuhkan.
Selama menjadi sopir ambulans, ia tak pernah mengalami kejadian mistis. Namun sesekali, ia mengaku mengalami hal yang membuat bulu kuduk berdiri.
“Pernah ke Gresik, daerahnya jauh dan saya baru pertama ke sana. Tapi pas pulang sendirian jam 2 pagi, saya tahu saja arah jalannya. Padahal sebelumnya nggak hafal,” tuturnya.
Tak banyak yang mengenal sosok Sukur Basuki. Ia bekerja dalam diam, tanpa sorotan. Namun bagi warga yang pernah ia bantu, nama Sukur akan selalu dikenang sebagai pengantar harapan.
Di balik setir ambulans yang ia kemudikan, ada doa, niat tulus, dan pengabdian yang tak pernah minta balasan.***
Editor : Agus Hidayat