Lintas Topik.Com — Usianya sudah 67 tahun, namun Bambang Hengky, atau yang akrab disapa Bahenk, masih saja gesit memegang kamera, menulis naskah, dan menyusun gambar demi gambar menjadi karya dokumenter yang menyentuh jiwa.
Di tengah derasnya arus informasi instan, Bahenk tetap teguh berjalan di jalur sunyi: mendokumentasikan kebudayaan, kemanusiaan, dan nilai-nilai lokal yang nyaris luput dari perhatian.
Karier jurnalistik Bahenk dimulai pada awal 1980-an sebagai wartawan surat kabar Kedaulatan Rakyat. Ia menyusuri gang-gang kecil dan pelosok desa di Wonosobo, mengabadikan denyut kehidupan masyarakat.
Tahun 1992, ia hijrah ke dunia televisi, bergabung dengan RCTI saat stasiun swasta itu baru berdiri. Sejak itulah hidupnya berubah: dari tulisan menjadi gambar, dari koran menjadi layar kaca.
Liputan pertamanya untuk TV bukanlah soal politik atau selebriti, melainkan tentang seorang warga yang hendak bunuh diri di menara Telkom Wonosobo.
Cerita kelam yang justru menjadi pintu masuk menuju dunia jurnalistik visual yang lebih kompleks dan berisiko.
Salah satu liputan paling menegangkan terjadi saat Gunung Merapi meletus pada 1994. Aparat melarang tayangan itu disiarkan dan menyita kaset rekamannya.
Tapi Bahenk punya siasat. Ia berhasil menyelamatkan footage asli. “Wartawan itu bukan cuma soal keberanian, tapi kecerdasan menyiasati keadaan,” ujarnya.
Kisah heroik lainnya terjadi saat adiknya, Feri Santoro—kameramen RCTI—disandera kelompok GAM di Aceh bersama reporter Ersa Siregar. Bahenk turun langsung dalam proses mediasi. Ersa gugur, namun Feri berhasil diselamatkan. “Tragedi itu mengajarkan: empati dan nyali adalah nyawa jurnalisme.”
Tak Gentar Hadapi Bahaya
Bahenk bukan hanya wartawan. Ia pelaku sejarah. Dia pernah menyusuri tebing curam di Kebumen, mengikuti para pengunduh walet dengan tangga penjalin, lalu memanjat ke gua di bibir samudra untuk mengambil gambar sarang walet.
Saat syuting, tak ada rasa takut. Tapi ketika turun, tubuhnya gemetar. “Baru terasa ngeri kalau sudah selesai,karena itu menyangkut nyawa. Kok nekad banget aku saat itu,” kenangnya saat berbicara di Podcast Lintas Topik.
Selain meniti karier di RCTI hingga tahun 2017, Bahenk juga pernah berkiprah di TV lokal yakni Temanggung TV dan Satelit TV Purwokerto selama beberapa waktu.
Film dokumenternya tidak sekadar tontonan. Ia merawat memori kolektif bangsa. Beberapa karyanya antara lain:
- KARTINI: Wanita Terpilih
- Samin Surosentiko: Melawan Ketidakadilan
- Sadam: Lengger Terakhir
- Aku Kembali
- Babad Tanah Wonosobo
- Jejak Kyai Sadrah
- Daerah Si Lengger Lanang
- Aura Magis Musik Bundengan
- Ujungan
- Lasmi: Maestro Tayub Grobogan
- Musik Bongkel Pengusir Babi Hutan
- Gladi Stunami
- Pendangkalan Segara Anakan
- Matheos Anin: Penjaga Gunung Mutis – NTT
- Menembus Perbatasan Kaltara
- Mencari Indhang di Jagad Suwung
- Otnil Tasman: Reinkarnasi dari AH
Warisan yang Tak Lekang Zaman
Kini, Bahenk lebih banyak berkarya lewat media dokumenter dan masih aktif menulis di Mercusuar. Penampilannya khas: modis, etnik, penuh aksesoris, dan langkahnya pelan namun pasti. Ia lebih senang bicara lewat karya daripada pujian.
Pesannya sederhana tapi membekas:
“Tetaplah berkarya selagi bisa. Tak penting orang menganggap kita wartawan atau bukan. Selama karya itu ada, maka eksistensi kita nyata. Terus belajar, dan jangan pernah merasa lebih pintar—bahkan dari wartawan pemula sekalipun.”
Bahenk bukan hanya jurnalis senior. Ia adalah guru kehidupan. Lentera tua dari Wonosobo yang tak pernah padam.***
Editor : Agus Hidayat