Lintas Topik.Com – Kecintaannya pada bahasa dan budaya jawa yang dipupuknya sejak kecil, siapa sangka akan menjadi jalan hidupnya. Namanya Ina Wijayanti—sosok perempuan jawa yang tak hanya menginspirasi sebagai kepala sekolah, tapi juga sebagai pejuang pelestari budaya Jawa, perias wajah dan jiwa, serta ibu bagi ratusan anak didik dari generasi ke generasi.
Rasa cinta akan budaya jawa seolah mulai menemukan jalannya saat dirinya mulai bergabung dengan sebuah sanggar tari bernama Ngesti Laras. Di bawah bimbingan Bu Mul—guru sekaligus mentornya.
Gerakan tangannya lemah gemulai, tapi dalam batinnya, tekadnya sekuat baja: budaya ini tak boleh punah.
Ketika melangkah ke SMP dan SMA, ia bergabung dengan sanggar Arum Sari, mendalami seni tari dan sekaligus belajar dasar-dasar make up dan ragam pakaian adat Jawa.
Tamat SMA, jalan hidup membawanya ke dunia kerja lebih dulu. Ia menjadi SPG kosmetik PIXY di Rita Pasaraya.
Dari balik etalase penuh lipstik dan bedak, ia belajar: makeup bukan sekadar mempercantik wajah—ia bisa menjadi jembatan untuk menguatkan rasa percaya diri perempuan.
Satu tahun di sana menjadi awal dari kisah cintanya yang panjang dengan dunia rias.
Mulai Terbuka Jalan
Ia kemudian melanjutkan kuliah di jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) UNNES—jurusan yang mengajarkan boga, busana, dan kecantikan.
Di semester 3, ia sudah membuka salon kecil-kecilan di kos, melayani perawatan untuk perempuan, bahkan merias kakak tingkat yang hendak wisuda. Tahun 2006, ia mulai menerima rias pengantin. Saat itulah, wajah hidupnya berubah. Ia bukan hanya penari, bukan hanya perias, tapi juga guru.
Langkah awalnya sebagai guru dimulai dari SMP Muhammadiyah Wonosobo. Saat guru Bahasa Jawa di sekolah itu pindah, Ina menggantikannya.
“ Mungkin memang sudah menjadi takdir saya untuk menempuh jalan ini, tiba tiba seolah Tuhan memberikan kemudahan jalan yang saya tempuh,” ujar ibu empat anak yang masih terlihat cantik.
Ternyata, jalan takdir membawanya lebih dalam lagi menyelami peran budaya dalam pendidikan. Ia melanjutkan kuliah di jurusan Bahasa Jawa dan bergabung dengan komunitas Permadani sejak angkatan pertama. Tak hanya belajar, ia pun menjadi “Dwija”—pengajar—sejak 2015.
Meski waktu membatasi, Ina tak pernah berhenti. Ia menyusun buku pelatihan salon (2019), menulis artikel di media daerah (2018–2022), menulis empat buku antologi geguritan bersama anak-anak, bahkan menyusun buku tentang praktik baik guru dan kepala sekolah bersama Komunitas Guru Belajar Nusantara. Pada 2025 ini, ia tengah menyusun buku tentang iklim pendidikan di komunitas itu.
Tidak tanggung tanggung jejak langkahnya menari di berbagai sekolah: SD Pudak Payung Semarang, SD Rasamala Banyumanik, SMPN 1 Selomerto, SMPN 1 Kaliwiro, SMPN 2 Wonosobo, dan kini ia menjadi kepala SMPN 3 Kalibawang.
Namun, semua langkah itu memiliki satu benang merah: semangat untuk menjadikan budaya Jawa hidup dalam tiap langkah pendidikan.
Salah satu pengalaman paling mengharukannya adalah saat membimbing anak-anak di Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI). Anak-anak dengan karakter dan latar belakang yang sangat beragam berhasil ia tuntun hingga juara tingkat kabupaten dan maju ke tingkat provinsi.
Di balik keterbatasan, mereka membuktikan bahwa bahasa ibu bukanlah bahasa masa lalu—ia adalah bahasa masa depan yang bermartabat.
Hidup itu seperti menari
Ina tak hanya membimbing, ia juga menjadi juri FTBI sejak 2019 hingga kini. Ia menulis geguritan bersama anak-anak, mengangkat cerita-cerita rakyat dalam bentuk cerkak, dan menyisipkan nilai budaya dalam tiap detik kegiatan sekolah.
Ia bahkan merintis program “Upacara Basa Jawa” sebulan sekali, yang kini direkomendasikan oleh Dinas Pendidikan sebagai bagian dari pelestarian budaya.
Tak cukup di kelas, ia juga aktif di media sosial. Di Instagramnya, @inawijayanti39, ia menyuguhkan konten berbahasa Jawa. Bagi Ina, medsos adalah panggung modern untuk mementaskan budaya yang luhur.
Sebagai seorang Guru Penggerak (2023) dan Pengajar Praktik (2024), Ina menjelma menjadi simbol guru yang tak sekadar mengajar, tapi juga menginspirasi.
Meski setiap harinya dia harus menempuh 45 menit perjalanan dari rumahnya di Selomerto hingga ke SMPN 3 Kalibawang, namun tidak pernah ada keluhan yang terucap. Bahkan dia menganggap perjalanan setiap harinya menjadi sarana “rekreasi jiwa” karena jalur yang dilaluinya dipenuhi pemandangan indah yang bisa menjadi obat capai.
Ia sosok perias / Make Up Artist (MUA) yang kini merias kehidupan. Dirinya juga penari yang kini pentas di panggung pendidikan. Bukan sekadar kepala sekolah, tapi Ina Wijayanti juga seorang pemimpin yang menyulut bara semangat pelestarian budaya lewat pendidikan yang mengakar pada jati diri bangsa.
Saat pandemi memaksa salon perawatannya tutup, Ina tak patah arang. Salon memang tutup, tapi semangatnya untuk merias tak pernah pudar.
Kini, ia lebih fokus menjadi seorang make up artist untuk merias pengantin, sembari terus menulis, mendidik, dan menyebarkan nilai-nilai Jawa lewat apa pun yang ia bisa.
Karena bagi Ina, hidup itu seperti menari: perlu ritme, keseimbangan, dan cinta. Dan dalam setiap tarikan napasnya sebagai guru, sebagai perempuan, dan sebagai pejuang budaya, Ina Wijayanti telah membuktikan bahwa hidup bisa dirias dengan keindahan, jika dilakukan dengan hati.***
Editor : Agus Hidayat