Wonosobo (Lintas Topik.Com) – Jika kamu sedang main ke Pasar Kertek saat hari pasaran Kliwon atau Pahing, sempatkanlah menepi sebentar ke arah selatan pasar, tepat di depan Masjid Al Muttaqin. Di sanalah berdiri warung tenda sederhana dengan ciri khas kain geber warna biru bertuliskan “Soto dan Sate Pak Parwito”. Di balik tampilannya yang bersahaja, tersimpan cerita kuliner legendaris yang sudah hadir sejak era 1960-an.
Soto Pringapus “Pak Parwito” adalah salah satu warisan kuliner khas Kalikajar, Wonosobo yang hingga kini masih bertahan. Awalnya, almarhum Pak Parwito memulai usaha ini dengan cara berkeliling kampung, menyajikan soto sapi dengan cita rasa rempah yang begitu kuat. Uniknya, lontong atau ketupat dalam sajian sotonya tidak dibungkus daun pisang, melainkan ditampung dalam wadah anyaman bambu yang disebut tumbu. Sentuhan tradisional ini menjadi ciri khas yang tetap dipertahankan hingga sekarang.
Dalam satu porsi soto, pembeli akan menemukan potongan ketupat, kecambah, daun seledri, dan potongan daging sapi yang empuk. Kuahnya kecoklatan dan kaya rempah serta sudah terasa manis sehingga tidak perlu ditambah kecap, seolah menjadi mesin waktu yang mengantar lidah kita kembali ke masa lalu. “Rasanya nggak pernah berubah sejak dulu,” kata seorang pelanggan lama yang mengaku sudah menikmati soto ini sejak masih sekolah dasar.
Setelah Pak Parwito wafat, usaha ini diteruskan oleh sang istri, dibantu oleh anaknya Mujiman, serta cucu-cucu yang mulai turun tangan melayani pembeli. Warung ini buka dari pukul 08.00 pagi hingga sore, namun hanya muncul saat hari pasaran Kliwon dan Pahing. Di luar itu, mereka juga aktif berjualan saat ada event kesenian di sekitar Wonosobo, serta menerima pesanan untuk hajatan seperti pernikahan.
Menu andalannya tentu saja Soto Sapi (Rp12.000 per porsi) dan Sate Kere (Rp20.000 per porsi). Meski harganya bersahabat, rasanya tidak murahan. Bahkan menurut banyak pelanggan, kualitas rasa lebih diutamakan daripada keuntungan.
Kini, Mujiman tengah merintis rencana membuka warung permanen di pinggir jalan dekat rumahnya di Pringapus, sebuah desa yang dulu dikenal sebagai sentra soto sapi di Kalikajar. Sayangnya, kini hanya tinggal segelintir penjual soto yang bertahan di sana. “Dulu banyak yang jualan, sekarang tinggal sedikit,” ujarnya dengan nada haru namun optimis.
Soto Pringapus bukan sekadar makanan, tapi juga cerita tentang ketekunan, warisan rasa, dan kesetiaan pelanggan selama puluhan tahun. Di tengah gempuran makanan kekinian, soto ini berdiri tegak sebagai pengingat bahwa cita rasa tradisional selalu punya tempat di hati.***
Editor : Agus Hidayat