Wonosobo,( Lintas Topik.Com) “Dari rasa malu pada mertua, hingga harum tempe mendoan yang jadi ciri khas Wonosobo”.
Cerita ini bukan hanya tentang gorengan, tapi tentang ketekunan, rasa malu yang dijadikan bahan bakar semangat, dan resep hidup yang ditemukan lewat kegigihan dan rasa syukur. Dari lapak kecil di Jaraksari Wonosobo kisah panjang hidupnya pada akhirnya tertulis.
Tahun 1995, Hidayat hanya punya Rp7.500 di sakunya—modal kecil yang akhirnya jadi pemantik perjalanan panjang bernama Mendoan Tribi. Ia memulainya bukan dari mimpi besar, tapi dari rasa malu. Ya, malu karena menganggur dan harus menghidupi istri. Solusinya sederhana tapi bermakna: jualan bubur dipagi hari. Alasannya pun teramat simple karn dia masih memiliki stok beras di dapur, dan alat alat masaknya juga tinggalan dari orang tuanya.
Setiap mangkuk hanya dijual Rp100. Tapi Dayat, begitu ia biasa disapa, tak segan memberi potongan harga bagi pelanggan yang tak cukup uang. “Saya tahu rasanya nggak punya,” katanya suatu kali. Pelan-pelan, rasa empatinya mulai menciptakan pelanggan setia.
Sambil menjajakan bubur, Dayat dan istrinya mulai mencoba jualan gorengan di sela-sela. Tempe kemul disiapkan dengan bumbu yang mereka racik sendiri—hasil eksperimen di dapur kecil rumah mereka. Ternyata, gorengan ini berbicara lebih lantang dari bubur. Pembeli pertama gorengannya, Pak Harso dari Sidojoyo, bahkan jadi pelanggan setia hingga kini, bahkan anak-cucunya pun tetap setia membeli.
“Untuk Pak Harso, saya nggak pernah mau terima uang kalau dia beli. Itu wujud terima kasih saya,” ujar Dayat sambil tersenyum mengenang masa awal.

Dari tempe biasa menjadi “Mendoan Tribi”
Awalnya, tempenya belum disebut “mendoan.” Hanya tempe yang digoreng setengah matang—mendo, orang Wonosobo bilang. Justru para pelangganlah yang memberi nama: “Ini mendoannya enak, Pak.” Sejak itu, nama Mendoan Tribi mulai melekat, diambil dari nama istrinya, Tri Biatun.
Untuk menjaga orisinalitas, nama “Tribi” bahkan didaftarkan ke notaris. Tapi di luar kota, tetap saja ada yang coba meniru. “Nggak apa-apa ditiru, asal nggak meniru rasanya,” kelakar Dayat.
Dayat punya prinsip: lidah pembeli adalah juri terbaik. Ia tak segan membagi gorengan secara gratis hanya untuk mendengar pendapat. Ada yang bilang keasinan, ada yang bilang kurang gurih. Tapi seminggu setelahnya, mereka kembali… kali ini membawa uang. Dari sanalah ia tahu: rasa yang pas itu bukan soal selera pribadi, tapi soal mendengar.
Kini, Mendoan Tribi memproduksi sekitar seribu gorengan per hari, dan saat Ramadan, jumlah itu bisa melonjak hingga dua ribu. Tempe mendoan menjadi ikon, disusul pisang goreng, tempe gembus goreng, bakwan, hingga tahu susur dan tape goreng.
Usahanya buka mulai jam 16.00 selepas ashar hingga pukul 21.00 WIB.
Tak hanya berkutat di dapur, Dayat juga menjajal dunia sablon. Dengan modal nekat dan pinjaman screen dari teman, ia mulai membuat spanduk dan kartu nama. Bahkan pernah, ia mencetak spanduk untuk Hari Bhayangkara dan menyisipkan logo Mendoan Tribi di dalamnya—hal yang dianggap “aneh” saat itu, tapi justru menjadi langkah cerdik branding awalnya.
Dari sepotong tempe, Dayat membangun bukan hanya usaha, tapi juga harga diri. Ia membeli tanah dan rumah di Temanggung, membesarkan anak hingga selesai kuliah dan kini ikut mengurusi usahanya meski sudah menjadi guru di sebuah sekolah.
Puas dengan capaian selama ini ? belum ternyata. Kini dirinya bersama isteri dan adik iparnya sedang mengembangkan usaha warung soto dan cabang Mendoan Tribi baru. Soto yang diberi nama Soto Mbak Lupi dibuka di Jl. Bulu Kebonsari Temanggung.
Dia menginginkan Mendoan Tribi juga lebih dikenal tidak hanya di seputar Wonosobo namun merambah ke kota tetangga.
Kisah hidup Dayat semakin berwarna. Jiwa seni yang dimiliki juga membawanya berhasil membuat karya puisi yang sudah ratusan jumlahnya. Namun hingga saat ini belum sempat terwujud dalam sebuah buku. Mungkin ini adalah salah satu obsesi lain yang ingin diwujudkannya.
Mendoan Tribi bukan sekadar jajanan pinggir jalan. Ia adalah kisah tentang bagaimana satu keputusan kecil—jualan dengan Rp7.500—bisa menjadi warisan yang dinikmati bukan hanya satu generasi, tapi sampai ke cucu-cucu pelanggan.***
Editor : Agus Hidayat