Sujud di Antara Dua Gunung: Kisah Shalat Idul Adha Dengan View Terindah di Wonosobo

Ida Agus
84 Views
6 Min Read
Sholat Idul Adha di lapangan Garung Desa Butuh Kec kalikajar Wonosobo yang kini sedang viral, dihadiri oleh lebih dari 27 ribu jamaah dari luar kota. ( istimewa)

WONOSOBO (LintasTopik.com) — Udara masih menggigit tulang ketika aku dan Dee menuruni motor di sebuah tikungan sunyi di Desa Butuh, Kecamatan Kalikajar, Wonosobo. Jam menunjukkan pukul 04.30 WIB. Langit belum sepenuhnya membuka mata, dan kabut tipis masih melayang rendah di antara rumah-rumah warga.

“Ini dia, Lapangan Garung yang viral itu,” bisik Dee, sambil menarik napas panjang. Kami memang sengaja datang ke sini bukan hanya untuk menunaikan Shalat Idul Adha, tapi juga untuk meliput—mencari tahu apa yang membuat ribuan orang rela bangun dini hari, menempuh jalan pegunungan, demi sujud di tengah lanskap megah Gunung Sindoro dan Sumbing.

Kami berangkat dari kota Wonosobo sekitar pukul 04.00 WIB. Jalanan masih sepi, hanya sesekali berpapasan dengan motor lain yang sepertinya punya tujuan sama. Harapan kami sederhana: bisa mendapatkan shaf di barisan depan, sekaligus menangkap momen dari sudut terbaik untuk dokumentasi.

Tapi ekspektasi itu mulai pudar begitu kami sampai di lokasi.

Parkiran sudah penuh. Nyaris tidak ada ruang untuk berjalan. Keraguan itu sempat muncul saat melihat padatnya jalan oleh lautan manusia. Aku dan Dee akhirnya menitipkan motor di halaman rumah warga, lalu berjalan kaki sekitar 15 menit menuju lapangan yang katanya hanya bisa menampung lima ribu orang.

“Kalau penuh banget gimana ya? Kita nggak bawa alas cadangan,” kata Dee setengah cemas.

- Advertisement -
Ad imageAd image

“Kalau niatnya baik, pasti dikasih jalan,” jawabku sambil tersenyum, meski sebenarnya aku pun mulai khawatir.

Sesampainya di Lapangan Garung, kekhawatiran itu jadi nyata. Lapangan sudah penuh sesak. Kami bahkan tak bisa masuk ke bagian tengah. Banyak jemaah yang menggelar sajadah di pinggir lapangan, bahkan ada yang harus sholat di kebun tembakau.

“Masya Allah… Ini ramai banget, Dee,” kataku sambil menatap takjub. Satu sisi hatiku kagum, sisi lainnya gelisah. Ini bukan hanya soal ibadah, ini sudah seperti gerakan massa yang rapi tanpa pemaksaan.

Di atas panggung sederhana, seorang panitia tampak sibuk mengarahkan jemaah.

“Ini di luar perkiraan kami. Yang datang katanya lebih dari 27.000 orang,” ujar Sunwiguna, salah satu panitia, saat kami sempat mewawancarainya sebentar sebelum shalat dimulai. Wajahnya antara bangga dan cemas.

Ia meminta maaf kepada jemaah yang tidak kebagian tempat, namun tidak ada satupun suara protes. Semua larut dalam suasana yang sulit dijelaskan dengan kata. Takbir bersahutan, udara dingin tak terasa. Ada kehangatan kolektif yang datang dari niat baik ribuan orang.

- Advertisement -
Ad imageAd image

Beruntung aku masih mendapatkan shaf yang longgar meski tidak didepan seperti ekspektasi awal. Tapi tidak masalah, setidaknya bisa merasakan sensasi sholat dengan “penjagaan” dua gunung yang begitu kokoh.

Shalat pun dimulai. Barisan jemaah mengarah menyerong ke arah kiblat. Uniknya, dari posisi kami yang agak di atas, terlihat barisan itu seperti mengarah langsung ke Gunung Sindoro, menjulang gagah di kejauhan. Gunung Sumbing berada di sisi lain, seakan jadi pagar agung bagi ribuan sujud yang menggetarkan bumi.

Di tengah shalat, aku sempat menoleh ke arah Dee yang duduk di atas selembar plastik seadanya. Wajahnya teduh, matanya tertutup, dan senyum kecil tersungging di bibirnya. Kami berdua tak berkata apa-apa, tapi rasanya kami tahu: ini bukan sekadar liputan.

Usai shalat, panitia membuka sesi interaksi. Lewat pengeras suara, mereka memanggil jemaah dari luar kota untuk maju. Suasana pun menjadi haru sekaligus meriah.

Ada yang dari Jepara, dari Indramayu, dari Yogyakarta. Dan tiba-tiba, seorang pria dengan logat Melayu naik ke panggung.

“Saya dari Malaysia. Saya tak sangka tempat ini akan seindah ini. Masya Allah… ini sungguh menggetarkan hati,” ucapnya, membuat seisi lapangan bergemuruh dalam takbir.

Seorang pemuda bernama Fadil bercerita bahwa ia berangkat dari Jogja pukul 01.00 dini hari. “Ngantuk iya, capek juga. Tapi begitu sampai sini dan lihat pemandangannya… hilang semua,” katanya sambil tertawa.

Kami berdua saling pandang. Satu kata muncul di benak kami: layak.

Bupati Wonosobo, Afif Nurhidayat, yang hadir pagi itu, menyampaikan bahwa ke depan, Lapangan Garung akan ditata ulang agar lebih siap menyambut jemaah yang kian membeludak.

“Kami ingin ini jadi bagian dari festival keagamaan. Bisa saja nanti sehari sebelum shalat kita adakan festival balon udara,” katanya. Wonosobo memang punya tradisi balon udara yang melegenda tiap lebaran.

Pagi itu, aku menyadari satu hal. Bahwa ibadah bisa menjadi pengalaman spiritual sekaligus perjalanan batin yang tak akan mudah dilupakan. Lapangan kecil di kaki gunung ini telah menyatukan ribuan langkah, niat, dan hati.

Dalam perjalanan pulang, Dee berkata pelan, “Kita harus kembali tahun depan.”

Aku mengangguk pelan. “Tapi tahun depan kita harus berangkat lebih pagi… atau nyari penginapa sekalian biar tak kehabisan shaf depan untuk sholat.”

Kami tertawa. Tapi jauh di lubuk hati, kami tahu: ada panggilan yang akan terus menggaung dari lembah Garung. Panggilan untuk kembali—tak hanya sujud, tapi juga untuk merasa kecil di hadapan kebesaran-Nya. ***

Editor : Agus Hidayat

Share This Article
Leave a Comment