Ad imageAd image

Dokar Terakhir di Kota Dingin: Menjaga Jejak Wonosobo Tempo Dulu

Ida Agus
54 Views
4 Min Read
Dokar sebagai alat transportasi yang pernah berjaya di Wonosobo kini semakin terpinggirkan keberadaannya. (Lintas Topik/Ida Agus)

Wonosobo (Lintas Topik.Com) – Pukul empat sore, suara ringkikan kuda memecah riuh kendaraan bermotor di selatan Alun-Alun Wonosobo.

 Di antara deru knalpot dan bising mesin, sebuah pemandangan yang kian langka menyapa siapa pun yang melintas: dokar tua yang berhias kelir warna-warni, menunggu penumpang dengan sabar.

Kusirnya, Pak Inur, duduk sambil memegangi kendali, menanti keberuntungan sore itu.

“Sekarang susah cari penumpang, Mas. Kadang ya cuma jalan sekali seharian,” ujarnya lirih, sambil menepuk lembut kudanya yang berjalan pelan.

Dulu, dokar adalah raja jalanan di Wonosobo. Pada masa 1990-an hingga awal 2000-an, suara derap tapak kuda menjadi ritme kota.

 Dokar bukan hanya moda transportasi, tapi juga denyut kehidupan. Warga kota memanfaatkannya untuk belanja ke pasar, anak-anak sekolah menumpang setiap pagi, bahkan para pedagang mengandalkan gerobak berkuda ini untuk mengangkut dagangan.

- Advertisement -
Ad imageAd image

Kini, dari ratusan yang dulu berseliweran, hanya tersisa sekitar 25 buah. Itupun tak semuanya beroperasi setiap hari.

Menepi oleh Zaman

Teknologi dan gaya hidup telah menggeser peran dokar. Kehadiran ojek online, angkot, hingga kendaraan pribadi membuat moda transportasi tradisional ini pelan-pelan terpinggirkan.

 “Dulu kalau malam minggu, dokar bisa jalan terus sampai jam 9 malam. Apalagi kalau bioskop baru bubar, penumpang berebut,” kenang Pak Inur, matanya menerawang.

Namun kini, satu trip saja sudah dianggap rezeki besar. Dalam sehari, penghasilan kotor berkisar antara 50 ribu hingga 100 ribu rupiah.

“Itu belum dipotong untuk pakan kuda, sekitar 30 ribuan. Belum lagi kalau kudanya sakit atau gerobaknya rusak,” jelasnya.

- Advertisement -
Ad imageAd image

Menambah pelik, banyak kusir dokar yang sebenarnya bukan pemilik. Mereka menjalankan dengan sistem setoran, sehingga pendapatan bersih kerap tak cukup untuk menutup kebutuhan harian.

Romantika Wonosobo yang Tak Hilang

Meski nyaris punah, dokar belum sepenuhnya hilang. Ada segelintir keluarga yang sengaja menyewa dokar untuk mengenalkan anak-anak mereka pada suasana Wonosobo tempo dulu. Ada pula wisatawan asal Wonosobo yang pulang kampung dan rindu suara gemerincing lonceng di leher kuda.

Pak Sarno, salah satu kusir senior di pangkalan dokar selatan alun-alun, menyebutkan tarif dokar kini berkisar antara 50 ribu hingga 100 ribu per sekali jalan.

 “Biasanya tergantung jauh-dekatnya rute. Tapi kebanyakan memang untuk jalan-jalan, nostalgia,” katanya sambil tersenyum kecil.

Pemerintah daerah melalui Dinas Perhubungan masih memberikan ruang untuk dokar—meski kecil—dengan menempatkan mereka di titik strategis seperti sekitar alun-alun.

 Namun jam operasional kini sangat terbatas. Saat jarum jam menunjuk angka lima sore, sulit menjumpai dokar yang masih beroperasi.

Menjaga Warisan, Menjaga Cerita

Dokar mungkin tak lagi jadi tulang punggung mobilitas di kota, tapi ia menyimpan jejak sejarah yang tak ternilai.

 Ia adalah bagian dari narasi Wonosobo—tentang kehidupan yang pernah sederhana, tentang suara-suara jalanan yang dulu lebih manusiawi.

Melihat Pak Inur, Pak Sarno, dan teman-temannya menjaga sisa-sisa kejayaan dokar bukan hanya soal bertahan hidup, tapi juga menjaga ruang untuk nostalgia, untuk pelan-pelan, dan untuk mengingat bahwa kota ini pernah berjalan dengan ritme yang lebih lambat—dan mungkin, lebih tenang.***

Editor : Agus Hidayat

Share This Article
Leave a Comment