Wonosobo (Lintas Topik) – Dari kejauhan, Dusun Prumasan di Desa Kalibening, Kecamatan Sukoharjo, tampak tenang dan makmur. Rumah-rumah besar berderet di tepi jalan, kebun salak pondok membentang sejauh mata memandang, dan udara pegunungan yang sejuk mengiringi aktivitas warga setiap hari.
Namun di balik kemegahan rumah dan keberhasilan bertani, ada ancaman yang mengintai: tanah bergerak. Ancaman ini tidak terlihat, namun bisa datang kapan saja, merusak bangunan, bahkan mengubah wajah dusun yang subur ini.
Sentra Salak Pondok Terbaik di Wonosobo
Prumasan berada sekitar 20 kilometer dari pusat kota Wonosobo, di ujung barat kabupaten. Wilayah ini berbatasan dengan Kecamatan Watumalang di utara dan Kabupaten Banjarnegara di barat.
Dusun ini dihuni sekitar 2.000 jiwa atau 750 kepala keluarga yang tersebar di 11 RT. Mayoritas warganya adalah petani salak pondoh. Setiap hari, tak kurang dari 10 ton salak berkualitas tinggi dihasilkan dari kebun mereka. Rasanya manis, bijinya kecil, dan kulitnya mulus—karakteristik yang membuat harga jualnya lebih tinggi dibanding daerah lain.
Keberhasilan ini berdampak langsung pada kesejahteraan warga. Tiga bulan terakhir, saat warga merenovasi masjid, dana yang terkumpul dari iuran hasil penjualan salak mencapai Rp150 juta. Rumah-rumah permanen yang megah menjadi bukti nyata hasil kerja keras mereka.
“Salak dari sini memang beda. Pembeli datang dari luar daerah karena kualitasnya,” ujar seorang petani sambil menata hasil panennya.
Perjuangan Melawan Tanah Bergerak
Namun kemakmuran itu dibayang-bayangi ancaman. Pergerakan tanah sudah lama menjadi masalah di Prumasan. Beberapa tahun lalu, banyak rumah dan fasilitas umum mengalami kerusakan serius.
Pada 2019, Kepala Desa Mugiyono berinisiatif membuat bronjong batu untuk menahan pergerakan tanah. Langkah ini terbukti membantu, meski tidak sepenuhnya menghilangkan risiko. Hingga kini, beberapa bangunan seperti Sekolah Dasar dan Taman Kanak-Kanak mengalami kerusakan parah.
“Warga dusun ini pernah disarankan untuk pindah, tapi mereka enggan. Bagaimanapun juga, ini tanah kelahiran mereka,” kata Kades Mugiyono.
Pemerintah Kabupaten Wonosobo pernah menawarkan bantuan Rp50 juta per rumah bagi warga yang bersedia pindah ke tempat aman. Namun tawaran itu ditolak. Warga menilai nominal tersebut tidak cukup untuk membangun rumah baru yang layak.
“Kalau pindah, berarti kami harus memulai segalanya dari nol. Sulit membayangkan hidup di tempat lain,” ungkap salah satu warga.

Berdamai dengan Risiko
Kini, keretakan dinding rumah menjadi pemandangan biasa di Prumasan. Saat hujan deras, terutama di malam hari, warga memilih berjaga-jaga. Rasa cemas itu ada, namun tidak cukup kuat untuk memaksa mereka meninggalkan kampung halaman.
Bagi warga Prumasan, bertahan adalah pilihan. Mereka memilih melanjutkan kehidupan—menggarap kebun salak, membangun masjid, merawat rumah—sambil berdamai dengan ancaman yang mengintai dari bawah tanah.
Dusun Prumasan adalah cermin keteguhan hati: sebuah komunitas yang memilih bertahan di tanah yang bergerak, demi mempertahankan warisan, kebersamaan, dan rasa memiliki yang tak ternilai.***
Editor : Agus Hidayat