Eskalator di Candi Borobudur: Fasilitas Tamu Negara atau Ancaman terhadap Cagar Budaya?

Ida Agus
16 Views
3 Min Read
Candi Borodubur kini dipasangi eskalator dalam rangka kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron. ( dok istimewa)

Magelang,( LintasTopik.com)– Pemasangan stair lift atau kursi bantu naik di tangga Candi Borobudur menuai polemik di ruang publik. Pemerintah menyebutnya sebagai bagian dari fasilitas sementara untuk menyambut kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron. Namun banyak pihak mempertanyakan, sejauh mana modifikasi seperti ini dibenarkan terhadap situs warisan dunia?

Sebuah video viral yang menunjukkan pelat besi dan papan kayu di tangga Borobudur telah memicu kekhawatiran bahwa situs suci umat Buddha itu akan ‘dipermak’ demi kepentingan kunjungan kenegaraan.

Pemerintah buru-buru menjawab kekhawatiran itu. Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, menjelaskan bahwa fasilitas tersebut bersifat non-permanen dan tidak merusak struktur candi.

“Tidak ada paku, tidak ada bor. Hanya ditaruh, dan setelah selesai bisa dibongkar. Semua di bawah pengawasan Kementerian Kebudayaan,” ujarnya di Jakarta, Senin (26/5/2025).

Warisan Dunia Boleh Dimodifikasi?

Candi Borobudur bukan sekadar objek wisata. Ia adalah cagar budaya nasional sekaligus situs warisan dunia UNESCO. Sebagai struktur batu berusia lebih dari 1.200 tahun, setiap intervensi pada bangunan ini wajib tunduk pada prinsip konservasi ketat, bukan sekadar kepentingan protokol tamu negara.

- Advertisement -
Ad imageAd image

Pakar konservasi budaya menyebut, meskipun pemasangan tidak merusak fisik secara langsung, keberadaan perangkat seperti stair lift bisa menjadi preseden buruk di masa depan.

“Hari ini demi tamu negara, besok mungkin untuk turis VIP. Kalau dibiarkan, warisan budaya bisa berubah fungsi jadi atraksi komersial,” ujar seorang arkeolog yang enggan disebut namanya.

Perlukah Eskalator di Candi?

Pemerintah menjelaskan bahwa fasilitas itu dibutuhkan karena Presiden Macron memiliki waktu terbatas dalam kunjungannya. Dengan tinggi candi yang setara gedung 12 lantai, akses ke puncak memang membutuhkan upaya fisik yang tidak ringan.

Namun argumen waktu dan kenyamanan ini menimbulkan pertanyaan: haruskah nilai sejarah dan kesakralan situs dikompromikan demi efisiensi protokol?

Batas Etika vs Diplomasi Negara

- Advertisement -
Ad imageAd image

Pemerintah menegaskan bahwa tidak ada eskalator permanen. Fasilitas hanya ramp dan stair lift temporer. Namun istilah “eskalator Borobudur” telah kadung menyulut keresahan masyarakat.

Di sisi lain, sebagai negara tuan rumah, Indonesia tentu ingin memberikan pelayanan terbaik kepada pemimpin negara sahabat. Tapi di sinilah letak dilema: ketika keramahan diplomatik berbenturan dengan etika konservasi.***

Editor : Agus Hidayat

Share This Article
Leave a Comment