Wonosobo (Lintas Topik.Com) – Rumah sederhana di Kampung Kenjer, Kecamatan Kertek, Wonosobo, masih ramai oleh langkah para pelayat. Sejak kabar duka itu tersebar, orang datang silih berganti untuk menyampaikan belasungkawa. Di dalam rumah, aroma bunga melati bercampur bau dupa tipis memenuhi udara—menandakan duka yang belum juga reda.
Di pojok ruang tamu, Siti Fatimah duduk dengan wajah menyiratkan kesedihan., Matanya masih terlihat sembab. Ia masih berusaha memahami kenyataan bahwa TA, anak bungsunya yang baru berusia sembilan tahun, kini sudah tiada.
“Anak saya nggak pernah punya riwayat sakit apa-apa,” katanya pelan, . “Awalnya cuma bilang sakit perut sehingga Sabtu sore ( 4/10) saya membawanya untuk berobat ke RS PKU Muhammadiyah,” lanjutnya lagi.
Di Rumah Sakit TA diperiksa intensif di ruang Instalasi Gawat Darurat. (IGD) dan lantas membawanya ke bangsal perawatan.
Namun kondisinya tak juga membaik. Tim medis memindahkannya ke ruang ICU untuk pemeriksaan lanjutan. Dari hasil rontgen, ditemukan cairan di paru-paru yang harus segera disedot.
“Waktu cairannya keluar, warnanya merah segar. Katanya kalau infeksi paru itu biasanya kuning. Saya cuma bisa nangis, nggak tahu harus percaya yang mana,” ucapnya, menahan napas panjang.
Di antara kepanikan dan doa, ada satu kalimat terakhir yang terus terngiang di kepala Siti. Kalimat yang keluar dari mulut kecil TA, beberapa jam sebelum kondisinya semakin menurun.
“Bu, TA mau pindah sekolah, karena TA dipukul teman.”
Siti tak menyangka kata-kata itu akan menjadi kenangan terakhir. Sebelum sempat bertanya lebih jauh, TA sempat menenangkan ibunya yang menangis di samping ranjang rumah sakit.
“Bu, sudah nggak usah nangis lagi. Besok TA sudah nggak sakit lagi.”
. “Saya kira dia cuma ngomong supaya saya nggak sedih. Ternyata itu pesan terakhir.”
Isu dugaan perundungan di sekolah mencuat tak lama setelah kabar meninggalnya TA tersebar. Ayah TA, Dedi Hendi Kusuma mengatakan anaknya dipukul oleh teman satu kelas saat upacara Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober. Namun Siti dengan tegas meluruskan kabar itu.
“Yang tanggal 1 Oktober itu anak saya nggak sekolah. Sudah izin dari tanggal 26 September. Jadi bukan hari itu,” jelasnya.
Meski demikian, ia tak menutup kemungkinan bahwa peristiwa pemukulan memang pernah terjadi. Ia hanya tidak tahu kapan tepatnya. Sejak naik ke kelas tiga, kata Siti, semangat TA untuk sekolah perlahan menurun.
“Kalau dulu semangat banget, sekarang sering diam. Kadang pulang sekolah langsung masuk kamar, nggak banyak cerita. Saya pikir cuma karena capek,” katanya pelan.
Kini, rumah itu sepi. Tak ada lagi suara langkah kecil TA atau tawa pelan yang dulu mengisi sore hari..
Siti hanya bisa berharap pada hasil autopsi yang tengah ditunggu keluarga. “Kalau memang nggak ada tanda penganiayaan, saya ikhlas,” katanya.
“Tapi kalau ditemukan sesuatu, saya ingin keadilan buat anak saya. Supaya guru-guru lebih mengawasi murid, supaya nggak ada anak lain yang ngalamin hal seperti ini.”***
Editor : Agus Hidayat