Wonosobo (Lintas Topik.com) – Di tengah semangat hijau yang mengiringi Gerakan Penanaman Kopi di lereng Sindoro–Sumbing, Jaringan Tanam Untuk Bumi (JATUBU) menyerukan perlunya kepastian hukum pengelolaan lahan hutan. Ketua Umum JATUBU, Mantep Abdul Ghoni, menilai tumpang tindih kewenangan antara Perhutani dan kehutanan sosial berpotensi menghambat keberlanjutan gerakan reboisasi kopi yang kini mulai tumbuh di berbagai desa.
Kegiatan penanaman kopi yang berlangsung sejak 11 hingga 14 Oktober 2025 digelar di sejumlah wilayah lereng Sindoro–Sumbing, antara lain Desa Talunombo, Igirmranak, Campursari, dan Lamuk. Puncak acara dilaksanakan di Desa Lamuk, Kecamatan Kalikajar, Selasa (14/10). Kegiatan ini melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah daerah, Dinas Kehutanan, KPH Kedu Utara, Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), hingga komunitas pemuda dan Pasukan Ojek Sumbing.
Bupati Wonosobo, Afif Nurhidayat, dalam sambutannya menyampaikan apresiasi kepada seluruh pihak yang terlibat dalam gerakan tersebut. Ia menyebut kopi sebagai tanaman konservasi bernilai ekonomi tinggi yang bisa menjadi jembatan antara pelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat.
“Gerakan ini bernilai besar. Merawat hutan sekaligus memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat. Jika kolaborasi seperti ini diperkuat dengan regulasi, kelompok tani akan merasakan langsung hasilnya,” ujar Bupati Afif.
Tumpang Tindih Data dan Kewenangan
Di balik semangat reboisasi, Mantep Abdul Ghoni mengungkapkan masih ada persoalan mendasar terkait batas dan pangkuan lahan. Menurutnya, data luasan dan pembagian wilayah antara Perhutani dan program kehutanan sosial belum sinkron, sehingga pelaksanaan penanaman kerap menemui kendala administratif di lapangan.
“Kami turun ke lapangan, tapi data luasan belum jelas. Ini bukan sekadar miss teknis, tapi soal kewenangan,” ujarnya menegaskan.
Meski menghadapi berbagai tantangan, JATUBU menegaskan bahwa kegiatan reboisasi ini bukan proyek komersial, melainkan bentuk hibah murni untuk masyarakat hutan. Bibit kopi yang disediakan tidak masuk dalam skema investor, melainkan sepenuhnya untuk dikelola oleh kelompok LMDH dan petani lokal.
“Kami murni hibah. Tidak ada investasi komersial. Perhutani memberi lahan, kami menyiapkan bibit, pemanfaatannya sepenuhnya untuk masyarakat,” kata Mantep.
Dalam konteks konservasi, JATUBU memilih kopi sebagai tanaman transisi di lahan hutan yang sudah terlanjur menjadi ladang pertanian. Pendekatan ini dinilai realistis karena masyarakat lebih mudah menerima tanaman yang memberi hasil ekonomi sambil tetap memperkuat fungsi ekologis hutan.
“Kopi jadi jembatan. Ada manfaat ekonomi, sambil perlahan kita arahkan kembali ke tegakan. Kalau langsung pohon keras, siapa yang mau rawat?” jelas Mantep.
Dukungan dari Pemerintah dan Akademisi
Penasihat Utama JATUBU, Laksma TNI Dr. Taufik Arief, menekankan bahwa reboisasi kopi harus dimaknai sebagai gerakan nasionalisme ekologis, bukan sekadar kegiatan lingkungan. Ia menilai semangat gotong royong masyarakat Wonosobo dapat menjadi contoh bagaimana cinta tanah air diwujudkan melalui perawatan alam.
“Reboisasi kopi bukan sekadar tanam pohon, tapi gerakan sosial dan ekonomi berkelanjutan yang memperkuat rasa cinta tanah air,” tegas Taufik.
Gerakan JATUBU kini berkembang menjadi dorongan moral agar negara hadir melalui kebijakan yang lebih tegas. Kepastian hukum atas pengelolaan hutan rakyat dan program kehutanan sosial menjadi kunci agar gerakan reboisasi tidak berhenti sebatas seremoni tahunan.
Bupati Afif juga menegaskan perlunya penguatan regulasi lokal agar masyarakat memiliki kepastian hak kelola tanpa harus berhadapan dengan tumpang tindih administrasi.
Penanaman kopi dilakukan di beberapa titik seperti Igirmranak, Campursari, Lamuk, dan Warangan, dengan jumlah bibit menyesuaikan kesiapan lahan dan arahan teknis dari Asper dan Administratur (ADM) Perhutani. Bagi JATUBU, setiap pohon kopi yang ditanam bukan sekadar bibit ekonomi, tetapi juga benih harapan bagi masa depan ekologi Wonosobo.
“Kami ingin mengembalikan suasana Wonosobo yang dulu — dingin, hijau, dan sejuk. Alam harus dirawat, bukan ditinggalkan,” ujar Taufik menutup kegiatan.***
Editor : Agus Hidayat