Lintas Topik. Com – Musim ini, sorotan di Old Trafford bukan tertuju pada pemain mahal, bukan pula pada trofi yang kembali mengisi lemari klub — karena tak ada itu semua. Justru dua pemain muda, hasil tempaan akademi, tampil sebagai penyelamat: Kobbie Mainoo dan Alejandro Garnacho.
Keduanya bukan sekadar pemain muda. Mereka adalah simbol dari harapan yang tersisa, dari sisa-sisa kejayaan yang mulai kabur dari ingatan. Namun kini, mereka disebut masuk dalam daftar jual. Alasannya? Menyehatkan keuangan klub.
Tapi pertanyaannya: sehat untuk siapa? Untuk klub? Untuk pemilik saham? Atau untuk para fans yang telah bertahun-tahun menanggung luka karena janji kosong dan keputusan transfer yang keliru?
Garnacho & Mainoo: Lebih dari Sekadar Nama di Neraca
Garnacho adalah nyawa di sisi sayap. Ia berani, cepat, dan punya naluri gol. Gol overhead-nya ke gawang Everton musim ini tak hanya viral — tapi jadi pengingat bahwa kadang, harapan bisa lahir dari seorang remaja yang tak takut mencoba hal mustahil.
Mainoo? Ia bermain dengan ketenangan seperti sudah 10 tahun ada di lini tengah. Gol kemenangan dramatis ke gawang Wolves adalah bukti bahwa darah Sir Alex masih mengalir di tubuh akademi MU.
Namun keduanya kini justru berada di ambang pintu keluar. Dijual demi menghindari sanksi Financial Fair Play. Ironis? Sangat. Karena klub ini justru dulu dibangun di atas punggung pemain-pemain muda — bukan angka-angka dingin dalam spreadsheet.
Manchester United bukan pertama kali melakukan kesalahan ini.
Gerard Piqué, tak dianggap cukup tangguh, dijual ke Barcelona — dan jadi tiang pertahanan era emas.
Diego Forlán, dianggap gagal, meledak di La Liga dan menjadi pemain terbaik dunia versi FIFA.
James Garner, dijual ke Everton, kini jadi salah satu gelandang muda Inggris paling menjanjikan.
Semua karena keputusan terburu-buru. Semua karena tidak sabar.
Dan sekarang, dua pemain yang bahkan belum mencapai puncaknya, siap untuk ‘dikorbankan’ agar klub bisa “bernapas” sejenak dari tekanan finansial?
Apakah Kita Akan Rela…?
Ada satu pertanyaan yang tak bisa dihindari:
“Apakah kita akan rela melihat Garnacho mengangkat trofi Liga Champions bersama Chelsea, sementara Manchester United tersingkir di babak penyisihan Liga Europa?”
Bayangkan itu. Anak yang dibesarkan di Old Trafford. Diberi nomor punggung ikonik. Dukungannya memenuhi media sosial tiap pekan. Tapi akhirnya bersinar di tempat lain, karena klub tempat ia besar terlalu sibuk menyelamatkan dirinya sendiri — dan lupa menjaga yang paling berharga.
Bukan Soal Bisnis. Ini Soal Identitas.
Manchester United tidak sedang kekurangan uang. Yang hilang adalah arah. Yang semakin pudar adalah identitas.
Menjual Garnacho dan Mainoo bukan soal untung rugi. Ini soal bagaimana klub ini memandang masa depannya. Apakah kita akan terus menjadi klub yang “menambal” kerugian jangka pendek dengan kehilangan jantung jangka panjang?
INEOS dan Sir Jim Ratcliffe membawa harapan baru. Tapi harapan itu tak akan berarti jika langkah pertamanya adalah menjual masa depan.
Sepakbola adalah tentang mimpi. Dan Garnacho serta Mainoo adalah mimpi yang sedang tumbuh di hadapan kita.
Menjual mereka mungkin akan menyelamatkan neraca. Tapi siapa yang akan menyelamatkan hati kami?
Jika klub ini kembali salah langkah, maka rasa kecewa fans bukan lagi soal hasil pertandingan. Tapi soal rasa memiliki yang direnggut pelan-pelan.
Dan ketika itu terjadi, Manchester United bukan hanya kehilangan pemain muda terbaiknya — tapi juga kehilangan jiwanya.***
Editor : Agus Hidayat