Wonosobo (Lintas Topik.Com) – Di Dusun Ngemplak, Kecamatan Selomerto, Wonosobo, waktu mungkin terus berjalan, tapi ada yang tetap bertahan—suara gamelan, hentakan kaki para penari, dan semangat menjaga budaya yang nyaris tenggelam oleh zaman. Di antara orang-orang yang diam-diam bekerja keras menjaga nyala itu, ada satu nama yang tak bisa dilewatkan: Agus Sugiharto.
Sudah lebih dari delapan tahun Agus menjadi nakhoda bagi Paguyuban Menunggal Budoyo, sebuah komunitas kecil yang menghidupkan kembali kesenian rakyat seperti Emblek dan Lengger, warisan leluhur yang dulu meramaikan setiap hajatan, kini pelan-pelan dicari jalannya agar tetap punya tempat di hati generasi baru.
“Dulu sempat mati suri. Tapi saya dan beberapa teman sepakat, kalau bukan kita yang mulai, siapa lagi?” kata Agus, mengenang awal mula ia dan kawan-kawannya mencoba membangkitkan kembali paguyuban yang sempat vakum bertahun-tahun.
Paguyuban ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 1992. Tapi kehidupan memang tak selalu memberi ruang untuk tradisi. Baru pada 2009, sekelompok pemuda termasuk Agus, mulai merintis ulang, memanggil siapa pun yang masih punya cinta terhadap kesenian rakyat.
Tak mudah tentu. Tapi mereka tidak menyerah. Mereka memulainya dengan hal kecil: latihan rutin, mengumpulkan orang-orang yang peduli, dan membiarkan proses itu tumbuh secara alami.
Datang Karena Cinta, Bertahan Karena Rasa Memiliki
Setiap Rabu sore, halaman tempat latihan yang mereka pinjam akan kembali ramai. Ada sekitar 50 orang—remaja, anak-anak, bahkan orang tua—berkumpul untuk menari, belajar, dan sekadar menjaga kebersamaan.
Tak ada daftar resmi. Tak ada seleksi. “Siapa pun boleh datang. Yang penting dia nyaman dan mau belajar. Biasanya, kalau sudah datang sekali, keterusan,” ujar Agus dengan senyum.
Organisasi ini bergerak bukan karena struktur yang rapi, melainkan karena rasa memiliki yang tumbuh dari dalam. Tak ada dana besar, tak ada sponsor tetap. Mereka hidup dari iuran sukarela, semangat gotong royong, dan satu hal yang tak bisa dibeli: cinta terhadap budaya sendiri.
Tempat latihan pun masih bersifat pinjaman. Tapi itu tak pernah menghalangi mereka untuk terus melangkah. Kadang, saat tampil dalam acara desa atau pentas budaya, honor yang mereka terima tak seberapa. Tapi kebahagiaan yang dirasakan? Tak ternilai.
Antara Pakem dan Inovasi
Agus sadar, zaman sudah berubah. Anak-anak sekarang tumbuh dengan gawai dan hiburan digital. Maka, paguyuban ini tak bisa hanya bergantung pada romantisme masa lalu. Mereka mulai menyisipkan penyesuaian dalam gerak tari dan kemasan pertunjukan—tanpa mengorbankan esensi.
“Inovasi penting, tapi dasar tradisinya tetap harus kuat. Kita tidak mau kehilangan akar,” tegas Agus.
Ia menjadi jembatan antara generasi lama dan yang baru. Ia mendengarkan saran anak muda, tapi juga menjaga agar warisan para sesepuh tetap dijunjung. Dalam dirinya, tradisi dan modernitas berdamai.
Regenerasi berjalan tanpa paksaan. Anak-anak datang karena teman. Lalu mereka jatuh cinta. Tidak pada tarian semata, tapi pada kebersamaan, silaturahmi, dan rasa bangga menjadi bagian dari budaya sendiri.
Menyalakan Nyala Kecil di Tengah Gelap
Menunggal Budoyo mungkin tak dikenal luas. Tapi di Ngemplak, ia adalah rumah bagi mereka yang tak ingin budaya hanya jadi cerita.
Dan selama masih ada orang seperti Agus Sugiharto—yang dengan sabar, tanpa pamrih, terus menjaga bara semangat itu tetap menyala—suara Emblek dan Lengger tak akan pernah benar-benar hilang.
Karena sejatinya, tradisi tak hidup dari panggung besar atau sorotan kamera. Ia hidup dari hati-hati kecil yang memilih bertahan, ketika yang lain memilih pergi.***
Editor : Agus Hidayat