Lintas Topik.Com – Sebanyak 36 biksu dari berbagai negara menapaki perjalanan penuh makna sejauh lebih dari 2.700 kilometer dengan berjalan kaki. Ritual ini bukan sekadar wisata religi, melainkan sebuah latihan spiritual mendalam yang dikenal sebagai Thudong. Mereka memulai perjalanan dari Thailand menuju Candi Borobudur, Indonesia, sebagai bagian dari perayaan Hari Raya Waisak 2569 BE/2025.
Jejak Langkah dari Negeri Gajah Putih ke Borobudur
Perjalanan para biksu dimulai pada 6 Februari 2025 dari Nakhon Si Thammarat, Thailand. Selama lebih dari tiga bulan, mereka menembus panas, hujan, dan kelelahan, melintasi Malaysia dan Singapura sebelum akhirnya tiba di Indonesia pada 16 April 2025. Total jarak yang ditempuh mencapai 2.797 kilometer menurut catatan Google Maps.
Pada Sabtu (10/5), rombongan akhirnya tiba di Candi Borobudur, tujuan akhir dari perjalanan panjang tersebut. Sebanyak 14 dari 36 biksu ini bahkan sudah pernah mengikuti Thudong pada tahun 2023, dan kembali menempuhnya tahun ini sebagai bentuk penguatan spiritual mereka.
Apa Itu Thudong?
Thudong adalah tradisi spiritual kuno dalam ajaran Buddha, di mana para bhikkhu atau bhante menjalani latihan dengan berjalan kaki menempuh jarak jauh. Ini bukan sekadar ritual, tetapi bagian dari praktik hidup sederhana, menjauh dari kemewahan, dan mendekat pada keheningan batin. Ajaran ini diwariskan langsung dari cara hidup Sang Buddha yang memilih jalan asketis.
Menurut Ditjen Bimas Buddha Kementerian Agama RI, Thudong bertujuan melatih kesabaran, ketabahan, dan pengendalian diri. Para biksu hanya makan sekali sehari, minum secukupnya, dan beristirahat di tempat seadanya—biasanya singgah satu malam di vihara atau kelenteng sepanjang rute perjalanan.
Melatih Kesabaran Lewat Langkah-langkah Sunyi
“Sehari bisa jalan 25 hingga 30 kilometer, hanya makan sekali, berhadapan dengan panas, hujan, dan rasa lelah. Tapi itulah latihan dhamma,” ujar Bhikkhu Dhammavuddho.
Latihan ini mengajarkan bahwa kesabaran adalah praktik tertinggi dalam ajaran Buddha, dan hanya bisa diraih melalui kedisiplinan serta pengendalian diri. Dalam kondisi dunia yang serba cepat dan serba instan, Thudong mengingatkan bahwa jalan menuju kedamaian tidak pernah instan.
Dari Hutan ke Vihara: Perubahan dalam Tradisi
Secara prinsip, Thudong tetap mempertahankan esensi aslinya, namun ada beberapa penyesuaian zaman. Dahulu kala, para biksu bermalam di hutan, gua, atau tempat terbuka. Kini, mereka lebih sering singgah di vihara sebagai tempat istirahat. Namun nilai-nilai kesederhanaan dan keteguhan batin tetap dijaga.
“Pada zaman Sang Buddha, belum ada vihara. Para bhante tinggal dari hutan ke hutan, dari gua ke gunung. Itulah bentuk pengembaraan spiritual mereka,” jelas Bhikkhu Dhammavuddho.
Candi Borobudur: Titik Akhir, Bukan Titik Henti
Candi Borobudur dipilih sebagai titik akhir perjalanan bukan tanpa alasan. Bagi umat Buddha, Borobudur bukan hanya bangunan cagar budaya, tetapi simbol pencerahan dan kedamaian universal. Menyentuh tanah suci itu setelah ribuan kilometer berjalan kaki menjadi momen penuh makna, penutup dari latihan panjang yang penuh ujian.
Lebih dari sekadar perjalanan fisik, Thudong adalah metafora kehidupan. Tentang bagaimana seseorang berjalan perlahan tapi pasti, melewati rintangan duniawi, untuk sampai pada tujuan yang lebih dalam—ketenangan batin dan kebahagiaan sejati.
Pelajaran dari Perjalanan Sunyi
Tradisi Thudong mengajarkan kita untuk melambat, merenung, dan menimbang kembali apa yang penting dalam hidup. Ketika para biksu berjalan dengan tenang di tengah hiruk-pikuk dunia, mereka menyampaikan pesan tanpa kata: bahwa kebahagiaan sejati tak datang dari luar, melainkan dari dalam diri yang damai.***
Dari berbagai sumber
Editor : Agus Hidayat