Yogyakarta (Lintas Topik.Com) — Di saat malam 1 Suro tiba, ketika kota Yogyakarta biasanya dipenuhi lampu dan aktivitas tanpa henti, ada satu sudut yang justru berubah hening. Ribuan orang bergerak bersama dalam diam, menyusuri jalanan yang mengelilingi benteng Keraton. Tradisi ini dikenal dengan nama Mubeng Beteng, sebuah ritual tahunan yang lebih dari sekadar budaya—ia adalah cerminan spiritualitas Jawa yang dalam.
Dari Patroli Prajurit ke Tirakat Kolektif
Tradisi ini memiliki akar sejarah yang kuat. Pada masa Sultan Hamengku Buwono II, Mubeng Beteng berfungsi sebagai patroli malam oleh prajurit Keraton. Tujuannya jelas: menjaga keamanan dan menunjukkan kekuatan militer Keraton. Namun seiring waktu, seiring berkurangnya ancaman dan meningkatnya stabilitas, tradisi ini mengalami perubahan fungsi.
Kini, Mubeng Beteng menjadi laku spiritual yang dilakukan dalam rangka menyambut Tahun Baru Jawa. Momentum malam 1 Suro dianggap sebagai waktu paling tepat untuk tirakat, refleksi, dan penyucian diri. Dari kegiatan militeristik, tradisi ini berubah menjadi sarana mendekatkan diri kepada Tuhan.
Topo Bisu: Diam yang Sarat Makna
Peserta tidak hanya berjalan, mereka juga diwajibkan untuk diam sepanjang prosesi. Praktik ini disebut Topo Bisu. Dalam filosofi Jawa, diam bukan berarti pasif, melainkan bentuk tertinggi pengendalian diri.
Beberapa makna di balik diam ini antara lain:
- Mulat Sarira Hangrasa Wani: berani bercermin pada diri sendiri.
- Menahan hawa nafsu dan ego, dengan tidak mengucap satu kata pun.
- Meningkatkan kepekaan batin, karena ketika kebisingan luar diredam, suara hati lebih mudah terdengar.
Rute yang Menggambarkan Siklus Kehidupan
Prosesi Mubeng Beteng selalu mengambil rute berlawanan arah jarum jam, mengelilingi benteng Keraton. Arah ini melambangkan usaha untuk menengok masa lalu, sebuah bentuk refleksi sebelum melangkah ke tahun yang baru.
Lingkaran yang terbentuk dari rute ini juga merupakan representasi dari Cakra Manggilingan, simbol roda kehidupan dalam budaya Jawa—sebuah siklus kelahiran, kehidupan, kematian, dan kembali pada Sang Pencipta.
Tradisi yang Tetap Hidup di Tengah Zaman Modern
Meski berakar pada masa lampau, Mubeng Beteng tetap relevan di masa kini. Ribuan peserta yang berasal dari berbagai latar belakang—warga lokal, wisatawan, bahkan anak muda—ikut serta dalam prosesi ini. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai universal seperti introspeksi, ketenangan, dan harapan tetap dibutuhkan dalam kehidupan modern yang serba cepat.
Di tengah riuh dunia yang penuh distraksi, Mubeng Beteng adalah ruang sunyi untuk kembali pulang—kepada diri sendiri.***
Editor : Agus Hidayat