Lintas Topik.Com Setiap kali peluit panjang dibunyikan di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), dan sorak-sorai suporter mulai mereda, ada satu momen yang justru membuat bulu kuduk berdiri: ribuan orang berdiri tegak, tangan di dada, lalu perlahan menyanyikan lagu “Tanah Airku”.
Bukan sekadar penutup pertandingan. Tradisi ini telah menjadi semacam doa kolektif, ritual kebangsaan yang sarat emosi—menyatukan pemain, pelatih, ofisial, dan puluhan ribu suporter dalam satu harmoni cinta tanah air.
Bermula dari Bekasi, Bukan Jakarta
Tradisi ini bukan lahir di stadion megah GBK, melainkan di Stadion Patriot Candrabhaga, Bekasi. Tepatnya pada 8 Juli 2022, usai tim nasional U‑19 Indonesia membantai Filipina 5‑1 di ajang Piala AFF U‑19.
Kala itu, bukan sorakan yang menutup malam, melainkan lantunan lembut “Tanah Airku”—lagu karya Ibu Sud yang dikenal menyentuh hati siapa pun yang mendengarnya. Para pemain membentuk lingkaran di tengah lapangan, dan secara spontan, lagu itu diputar dari pengeras suara stadion. Rita Effendy, penyanyi senior, turut menyanyikan versi live-nya, mengiringi para pemain yang berdiri tegap, mata berkaca-kaca.
Penonton diam, lalu ikut bersenandung. Di tengah stadion yang baru saja riuh, sunyi syahdu menyelimuti. Momen ini menjadi viral. Dari media sosial hingga media arus utama, semua sepakat: ini bukan sekadar tradisi baru. Ini ekspresi jiwa.
Dari U‑19 ke Timnas Senior
Apa yang semula dianggap spontanitas belaka, kini telah menjadi ritus resmi seusai setiap laga kandang tim nasional. Baik tim U‑19, U‑23, hingga timnas senior, semuanya mengakhiri laga dengan “Tanah Airku”.
Dan saat tradisi ini hadir di Stadion Gelora Bung Karno—ikon sepak bola Indonesia—magisnya terasa lebih kuat. GBK, dengan kapasitas lebih dari 70 ribu orang, berubah menjadi panggung kebangsaan. Ribuan suara bersatu, menggetarkan langit Senayan dengan lagu yang menyentuh hati tiap insan.
Tak ada instruksi. Tak ada aba-aba. Begitu lagu diputar, semua tahu: saatnya menyanyikan cinta, bukan hanya untuk sepak bola, tapi untuk Indonesia.
“Tanah Airku” bukan lagu kemenangan. Lagu ini kerap dinyanyikan bahkan saat timnas kalah. Dan justru di momen itulah, kekuatan lagu ini terasa lebih dalam. Ia menjadi pelipur lara, penyemangat untuk bangkit, dan pengingat bahwa di balik skor pertandingan, ada semangat bangsa yang tak pernah padam.
Dalam dunia sepak bola yang sering keras, penuh tekanan dan kritik, lagu ini adalah jeda. Ia membawa kedamaian, membangun jembatan emosi antara mereka yang bertanding dan mereka yang mendukung.
Tradisi yang Layak Dijaga
Di negara-negara besar, seperti Inggris dengan “Sweet Caroline” atau Islandia dengan “Viking Clap”, stadion bukan hanya tempat bertanding, tapi panggung budaya. Kini, Indonesia punya “Tanah Airku”—sebuah ekspresi nasionalisme yang tidak dipaksakan, tapi lahir dari hati.
Tradisi ini tidak perlu peraturan resmi. Ia cukup dijaga oleh rasa. Selama pemain dan suporter masih memiliki cinta yang sama terhadap Merah Putih, “Tanah Airku” akan terus berkumandang di akhir tiap pertandingan.
Dan setiap kali lantunannya terdengar di GBK, kita tahu, sepak bola Indonesia tidak hanya bermain untuk menang—tapi juga untuk mengingatkan kita akan indahnya tanah tempat kita berpijak.***
Editor : Agus Hidayat