Suara yang Tak Lekang oleh Waktu: Nur Asni & Fajar, Penyiar Radio Purnamasidi Lintas Generasi

Lintas Topik Author
32 Views
4 Min Read

Di tengah hiruk pikuk teknologi yang terus berubah, ada satu suara yang tetap bertahan: suara penyiar radio. Bagi sebagian orang, radio hanyalah alat pemutar lagu. Tapi bagi sebagian lainnya — termasuk masyarakat Wonosobo — radio adalah penghubung rasa, tempat cerita bergulir, dan kenangan melekat.

Salah satu yang paling diingat adalah suara lembut dan menenangkan dari Nur Asni Dewi, yang kini dikenal dengan nama siar Icha Maharani, serta suara hangat dan enerjik dari penyiar generasi setelahnya, Fajar Setyaningsih.

Mereka bukan hanya penyiar. Mereka adalah saksi sejarah dari gelombang radio yang dulu begitu berpengaruh di Wonosobo.


Dari Piringan Hitam ke Pita Kaset

Tahun 1982, Nur Asni memulai kariernya sebagai penyiar di Radio Purnamasidi, salah satu radio tertua dan paling dikenal di Wonosobo. Saat itu, siaran masih menggunakan piringan hitam, dan permintaan lagu datang melalui kupon lagu — secarik kertas yang dibawa langsung ke studio, berisi permintaan lagu dan salam untuk orang-orang terdekat.

Suasana studio saat itu jauh dari canggih. Untuk memutar lagu, ia harus cermat dan cepat, memutar piringan atau kaset secara manual. Namun di balik semua keterbatasan itu, justru lahir kedekatan yang tulus antara penyiar dan pendengar.

Nama-nama seperti Obbie Messakh, Rinto Harahap, dan Betharia Sonata menjadi lagu wajib. Lagu-lagu “cengeng” yang justru jadi perekat emosi bagi para pendengar setia.

- Advertisement -
Ad imageAd image

Generasi 90-an dan Tantangan Baru

Memasuki tahun 1990-an, datanglah penyiar muda: Fajar Setyaningsih. Ia hadir membawa semangat baru, tapi masih dengan cara kerja yang hampir sama. Lagu diputar dari kaset, dan kadang pita kaset “mbundet” alias nyangkut di tengah lagu.

Tak ada teknologi auto-play. Semuanya serba manual. Namun justru itulah seninya.

Fajar pun melanjutkan tradisi kirim salam dan kupon lagu. Ia mengisi ruang siaran dengan suara hangat yang menyapa, menggembirakan, dan jadi peneman setia pendengar yang sedang bekerja, belajar, atau sekadar melepas lelah di sore hari.


Ketika Penyiar Jadi Idola

Radio bukan sekadar hiburan. Bagi para pendengarnya, penyiar adalah sosok yang begitu dekat, meski hanya terdengar suaranya.

Salah satu pendengar setia sejak remaja adalah Nina, yang kini telah berkeluarga. Saat duduk di bangku SMP, sekolahnya berada tak jauh dari studio Purnamasidi. Karena mengidolakan salah satu penyiar, ia sering datang langsung ke studio — hanya untuk melihat dari balik kaca, siapa sebenarnya sosok yang suaranya ia dengarkan setiap hari.

“Rasanya kayak ketemu artis,” kenang Nina sambil tertawa. “Penyiar waktu itu bener-bener jadi idola. Kalau dengar suaranya bisa bikin semangat belajar!”

- Advertisement -
Ad imageAd image

Suara yang Tetap Bertahan

Waktu berlalu, teknologi terus berubah. Tapi satu hal tetap sama: Nur Asni Dewi alias Icha Maharani masih setia bersiaran hingga hari ini di Radio Purnamasidi. Meski dunia digital mengambil alih banyak ruang hiburan, ia tetap percaya bahwa radio punya tempat di hati pendengarnya.

“Banyak pendengar lama yang sekarang sudah jadi nenek-nenek masih suka dengar siaran saya,” ujarnya dengan senyum. “Radio itu bukan sekadar alat. Ia suara yang menemani, yang menguatkan.”


Kenangan yang Tak Pernah Pudar

Kisah Nur Asni dan Fajar bukan sekadar cerita dua orang penyiar. Mereka adalah bagian dari ingatan kolektif masyarakat Wonosobo — sebuah era di mana suara punya makna, dan penyiar adalah teman tanpa wajah yang terasa begitu dekat.

Di saat dunia sibuk mengejar yang baru, mereka mengingatkan kita bahwa ada hal-hal lama yang justru tetap abadi: suara, cerita, dan ketulusan menyapa tanpa harus terlihat.***

Editor : Agus Hidayat


Share This Article
Leave a Comment