Ad imageAd image

 Tapa Bisu dan Birat Sengkala, Ritual Sunyi Penuh Doa dan Makna di Malam Hari Jadi Kabupaten Wonosobo ke 200

Ida Agus
12 Views
4 Min Read
Prosesi Bedhol Kedaton diwarnai dengan topo bisu yang dilakukan Rabu malam ( 23/7) menjelang puncak acara Hari Jadi Wonosobo ke 200. (LT / Ida Agus)

Wonosobo (LintasTopik.com) – Suasana malam di jantung Wonosobo mendadak berubah hening dan sakral.

Rabu malam (23/7/2025), ribuan pasang mata menyaksikan kirab Tapa Bisu, tradisi diam yang menjadi bagian penting dari peringatan Hari Jadi ke-200 Kabupaten Wonosobo.

Dimulai dari Klenteng Honggoderpo dan berakhir di Pendopo Kabupaten, kirab ini bukan sekadar arak-arakan, tapi laku spiritual masyarakat yang memadukan sejarah, budaya, dan harapan.

Prosesi dimulai pukul 19.15 WIB, ditandai dengan gerak pelan peserta yang membawa obor (oncor) sebagai satu-satunya sumber cahaya, menembus gelap malam tanpa suara.

Hening menyelimuti jalur kirab yang melintasi pusat kota. Tak ada gamelan, tak ada gegap gempita — hanya nyala obor dan langkah kaki yang terasa seperti bisikan doa dalam perjalanan menuju pendopo.

Kirab ini dinamakan Tapa Bisu — sebuah simbol dari perenungan batin dan permohonan spiritual kepada Sang Pencipta.

- Advertisement -
Ad imageAd image

Peserta membawa tirta suci dari tujuh mata air, serta tanah dari Makam Ki Ageng Wanasaba di Desa Plobangan, tempat yang dipercaya sebagai cikal bakal pusat pemerintahan Wonosobo sebelum berpindah ke lokasi yang sekarang.

“Prosesi ini bukan sekadar tradisi, tapi bentuk ikhtiar batiniah seluruh warga agar Wonosobo dijauhkan dari marabahaya, diberi keberkahan, dan dijaga kelestariannya,” tutur Wakil Bupati Wonosobo Amir Husein yang turut mengikuti prosesi.

Usai Tapa Bisu, ritual berlanjut dengan Birat Sengkala, yakni pencampuran tanah dan air suci di bawah naungan pohon Ringin Kurung, sepasang beringin besar yang berdiri kokoh di halaman Pendopo Kabupaten.

Campuran itu kemudian disemayamkan di titik khusus sebagai simbol menanamkan doa dan harapan masyarakat ke dalam bumi Wonosobo.

Menurut Amir Husein, pencampuran tanah dan air ini bukan hanya seremonial, tapi menyimpan makna mendalam. “Saya menyerahkan tirta suci dari tujuh mata air yang telah disatukan sebagai sarana spiritual untuk membersihkan dan menjauhkan Wonosobo dari energi negatif. Ini bagian dari penyambutan Dwi Abad Wonosobo dengan cara yang luhur dan penuh makna,” ungkapnya.

Tak berhenti di situ, rangkaian ritual dilanjutkan menuju Paseban Timur, tempat pelaksanaan doa bersama yang dipimpin oleh tujuh tokoh lintas agama dari Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI).

- Advertisement -
Ad imageAd image

Mereka memimpin prosesi Birat Sengkala, sebuah upaya spiritual untuk “membalik sengkala” — atau menolak segala bentuk bencana, huru-hara, dan kesulitan yang mungkin mengancam.

Kabid Kebudayaan dan Ekonomi Kreatif Disparbud Wonosobo, Ratna Sulistiyowati, menegaskan bahwa prosesi ini merupakan warisan budaya yang harus terus dijaga. “Tapa bisu dan Birat Sengkala ini bagian dari identitas Wonosobo. Ini bukan sekadar festival atau tontonan, tapi adalah penyatuan nilai spiritual, sejarah, dan kekuatan doa masyarakat,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa semua bahan yang digunakan dalam prosesi memiliki asal-usul yang sakral. Air diambil dari Tuk Sampang, sementara tanah diambil dari Makam Ki Ageng Wanasaba di Desa Plobangan — wilayah yang dulunya menjadi pusat pemerintahan sebelum berpindah ke kawasan kota.

Ritual ini juga menjadi ajang pengingat akan tema besar Hari Jadi ke-200 Wonosobo tahun ini, yaitu “Dwi Abad Wonosobo: Kukuh dalam Tembayatan, Unggul dalam Segala Hal, Menuju Wonosobo Sejahtera, Adil, dan Makmur.”

Tema ini mencerminkan semangat kolektif masyarakat Wonosobo untuk menapaki abad baru dengan semangat membangun yang berpijak pada nilai budaya dan kebersamaan.

“Topo Bisu itu doa dari kita semua, harapan agar Wonosobo senantiasa aman, tentram, dan terbebas dari bencana,” pungkas Ratna.

Dalam suasana yang hening namun sarat makna itu, Wonosobo tak hanya merayakan usia ke-200 tahun, tapi juga sedang merawat jati diri, menyatukan harapan, dan menyampaikan doa dengan cara paling tulus: lewat langkah-langkah diam dalam terang obor. ***

Editor : Agus Hidayat

Share This Article
Leave a Comment