Wonosobo (Lintas Topik.Com) – Di Kelurahan Mudal, Kecamatan Mojotengah, Kabupaten Wonosobo, seorang perempuan bernama Warsigit membuktikan bahwa ketekunan bisa menumbuhkan kekuatan ekonomi dari sektor yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya: peternakan sapi.Usaha yang ia rintis sejak tahun 2002 itu kini berkembang menjadi peternakan penggemukan sapi jantan yang tidak hanya menopang ekonomi keluarga, tetapi juga membuka lapangan kerja bagi masyarakat sekitar.
Warsigit memulai semuanya tanpa latar belakang sebagai peternak. Ia hanya bermodal semangat belajar dan niat untuk menambah penghasilan keluarga. Bermodalkan dana Rp 20 juta, ia membeli dua ekor sapi jenis Limousin dan Simental.
“Saya coba saja waktu itu. Belum punya pengalaman, tapi saya belajar sendiri dari buku dan ngobrol dengan orang-orang yang lebih paham,” tuturnya.
Ternyata, percobaan itu membuahkan hasil. Usaha penggemukan sapi yang ia jalankan mulai menunjukkan keuntungan. Bukannya digunakan untuk kebutuhan lain, setiap rupiah yang ia dapat dari penjualan sapi disisihkan untuk membeli sapi baru. Sapi-sapi di kandang miliknya pun bertambah sedikit demi sedikit.
Namun, perjalanan tak selalu mulus. Tahun 2010, ketika populasi sapinya sudah mencapai 16 ekor, pemerintah membuka keran impor sapi. Harga sapi lokal jatuh drastis. Warsigit pun terkena imbasnya.
“Sapi yang saya beli seharga Rp 9 juta, hanya laku Rp 6 juta. Padahal biaya pakan, obat-obatan, dan perawatan juga besar,” ujarnya.
Tak ingin larut dalam kegagalan, Warsigit memutuskan untuk mengubah strategi secara total. Ia menjual seluruh sapi betina, lalu menggantinya dengan sapi pejantan. Ia bahkan memberanikan diri mengajukan pinjaman ke bank sebesar Rp 200 juta dengan tenor tiga tahun, seluruhnya ia gunakan untuk membeli sapi pejantan.
“Semua saya belikan sapi jantan. Saya lihat itu lebih menguntungkan, dan saya lebih paham cara merawatnya,” katanya mantap.
Membangun Peternakan Berbasis Komunitas
Saat ini, Warsigit mempekerjakan delapan orang tenaga kerja yang semuanya merupakan warga sekitar. Ia menerapkan sistem bagi hasil, di mana separuh dari keuntungan menjadi hak perawat sapi.
Setiap pekerja bertanggung jawab merawat 3–8 ekor sapi, tergantung kemampuan masing-masing. Mereka juga menanam rumput gajah dan memanen pakan dari lingkungan sekitar.
“Saya ingin mereka juga merasa memiliki. Jadi ada semangat untuk merawat sapi dengan baik. Mereka berlomba-lomba supaya sapi yang mereka rawat lebih gemuk dari yang lain,” ujarnya.
Untuk menjaga kualitas dan kesehatan sapi, Warsigit menetapkan prosedur karantina selama 15 hari bagi sapi yang baru dibeli. Sapi-sapi tersebut ditempatkan di kandang khusus berkapasitas 19 ekor, sebelum akhirnya dipindahkan ke kandang besar yang mampu menampung hingga 36 ekor.
Ia juga selalu berkonsultasi dengan dokter hewan sebelum membeli sapi, dan menghindari daerah yang rawan penyakit seperti Anthrax dan PMK.
Setiap sapi dipelihara selama sekitar delapan bulan. Selama masa itu, perhatian khusus diberikan terhadap asupan pakan, suplemen, serta kebersihan lingkungan kandang.
Menjelang Idul Adha tahun ini, Warsigit mempersiapkan 36 ekor sapi. Sebanyak 27 ekor telah dipesan oleh pelanggan lama, mayoritas dari Wonosobo, meski ada juga pembeli dari luar kota seperti Purbalingga.
Meski tren penjualan sedikit menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya, Warsigit tetap optimistis. Ia bahkan menyiapkan stok tambahan di luar kandang utama untuk mengantisipasi permintaan mendadak.
“Rekor saya dalam satu musim penjualan itu sampai 50 ekor. Meski kandang hanya muat 36, tapi saya sudah siapkan cadangan di luar,” jelasnya.
Selain sebagai peternak, Warsigit juga dikenal sebagai pemilik rumah makan Soto Bening Pororojo yang cukup populer di kalangan warga lokal.
Kini, Warsigit tak hanya dikenal sebagai pengusaha tangguh, tapi juga sebagai tokoh perempuan inspiratif yang mampu membangun kemandirian ekonomi dari desa, sembari memberdayakan warga sekitar.
“Saya cuma ingin terus belajar dan berbagi. Kalau bisa sukses bareng-bareng, kenapa harus sendiri,” pungkasnya.(***)
Editor : Agus Hidayat