Kartini: Cahaya dari Jepara yang Menembus Zaman”

Ida Agus
107 Views
4 Min Read

Lintas Topik.Com – Di sebuah kota kecil bernama Jepara, 21 April 1879, lahirlah seorang bayi perempuan dari keluarga bangsawan Jawa. Namanya adalah Raden Ajeng Kartini. Terlahir dari ayah seorang bupati, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, dan ibu yang berasal dari kalangan rakyat biasa, M.A. Ngasirah, Kartini tumbuh di tengah dua dunia: satu penuh tata krama priyayi, satu lagi dekat dengan denyut rakyat jelata.

Sejak kecil, Kartini dikenal cerdas dan haus ilmu. Ia bersekolah di ELS (Europese Lagere School), sebuah sekolah Belanda yang kala itu jarang sekali dimasuki anak pribumi, apalagi perempuan. Di sana, Kartini belajar bahasa Belanda—kemampuan yang kelak membuka jalan baginya untuk bersuara ke dunia luar.

Namun, hidup bukan hanya tentang mimpi. Usia 12 tahun, Kartini harus “dipingit”—sebuah adat ketat bagi perempuan bangsawan yang belum menikah. Dunia luar ditutup baginya, tapi tidak untuk pikirannya.


Tinta Jadi Senjata: Surat-Surat Kartini

Di balik tembok pingitan, Kartini menemukan pelarian dalam buku dan pena. Ia membaca banyak hal: mulai dari pendidikan, kesetaraan, hingga perkembangan perempuan di Eropa. Ia terpesona, sekaligus geram—kenapa perempuan di negerinya tak punya kebebasan yang sama?

Lalu ia mulai menulis surat kepada sahabat-sahabatnya di Belanda, seperti Estelle Zeehandelaar dan Rosa Abendanon. Surat-surat itu penuh dengan kegelisahan: tentang perempuan Jawa yang dianggap rendah, tentang adat yang mengekang, dan tentang cita-cita untuk membangun sekolah bagi perempuan.

- Advertisement -
Ad imageAd image

Dalam salah satu suratnya, ia menulis:

“Saya ingin agar perempuan memperoleh kemerdekaan untuk berpikir, memperoleh pendidikan, dan menjalani hidupnya dengan pilihannya sendiri.”

Ini bukan sekadar rengekan anak muda, ini adalah jeritan sunyi seorang pemikir besar dalam tubuh perempuan muda.


Cinta, Perjuangan, dan Kepergian yang Terlalu Cepat

Meski banyak yang meminangnya, Kartini menolak menikah hanya karena adat. Tapi akhirnya, pada 1903, ia menikah dengan Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang. Perkawinan itu bukan akhir dari perjuangannya. Justru, suaminya mendukung niat Kartini untuk mendirikan sekolah perempuan di Rembang. Ini menjadi langkah nyata pertama Kartini mewujudkan mimpinya.

Namun tak lama kemudian, hidupnya terhenti. Kartini wafat pada usia 25 tahun, hanya empat hari setelah melahirkan anak pertamanya, Soesalit Djojoadhiningrat, pada 17 September 1904. Dunia kehilangan salah satu putri terbaiknya.

- Advertisement -
Ad imageAd image

Habis Gelap Terbitlah Terang: Warisan Abadi

Setelah Kartini wafat, surat-suratnya dikumpulkan dan diterbitkan oleh J.H. Abendanon dalam buku berjudul “Door Duisternis tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang). Buku ini membuka mata banyak orang, bahkan generasi jauh setelah Kartini.

Buku itu adalah jejak pemikiran yang tak sempat diwujudkan sepenuhnya oleh tubuh Kartini yang singkat umurnya, tapi panjang usianya dalam sejarah. Ia bicara soal:

  • Kesetaraan perempuan dan laki-laki
  • Pentingnya pendidikan untuk perempuan
  • Hak perempuan untuk memilih jalan hidupnya
  • Kritik terhadap adat dan budaya yang membatasi

Kartini tidak mengajarkan kita untuk melawan secara kasar, tapi untuk melawan lewat ilmu, logika, dan hati nurani.


Kartini Hari Ini: Bukan Sekadar Kebaya dan Lomba Puisi

Setiap tanggal 21 April, kita merayakan Hari Kartini. Banyak sekolah yang mengadakan lomba kebaya, pidato, atau parade budaya. Tapi Kartini bukan soal baju adat semata. Ia adalah simbol dari perubahan besar yang dimulai dari ruang terkecil—dalam diri sendiri.

Kartini masa kini adalah:

 – Guru di pelosok yang mengajar dengan semangat walau minim fasilitas.
– Dokter muda yang menembus daerah terpencil demi menyembuhkan.
– Mahasiswi yang menjadi lulusan pertama di keluarganya.
 -Seorang ibu rumah tangga yang belajar lagi demi membantu ekonomi keluarga.

Semua perempuan yang berani bermimpi dan bertindak adalah Kartini masa kini.


“Habis gelap terbitlah terang” bukan sekadar kutipan. Ia adalah janji. Bahwa kegelapan tidak akan abadi, asal kita punya cahaya dalam hati—seperti Kartini.

Dari balik pingitan, Kartini bersuara. Dan suaranya kini menggema lewat jutaan perempuan Indonesia. Ia tidak sempat menyaksikan hasil perjuangannya, tapi kita adalah buktinya.***

Editor : Agus Hidayat

Share This Article
Leave a Comment