Wonosobo (Lintas Topik.Com) – Di Desa Giyanti Kecamatan Selomerto Wonosobo, waktu seolah punya cara tersendiri untuk berjalan.
Setiap Jumat Kliwon di bulan Sura, suasana desa yang biasanya tenang berubah jadi panggung besar kebudayaan.
Hari itu bukan hari biasa. Bagi warga, ini adalah saat paling sakral: Rakanan, peringatan hari lahir desa yang telah berusia lebih dari dua setengah abad.
Dari pagi hari, warga mulai berdatangan mengenakan pakaian adat. Para laki-laki bersurjan dan berkain , sementara para ibu tampil anggun dengan kebaya dan jarik.
Di tangan mereka, tenong-tenong besar dibungkus kain warna-warni, berisi jajanan pasar seperti kue apem, wajik, dan jadah.
Tapi jangan salah, ini bukan sekadar acara makan-makan. Di balik iringan kuda lumping, suara gamelan, dan barisan prajurit bersenjata tombak kayu, tersimpan penghormatan besar kepada para leluhur desa.
Khususnya Adipati Mertoloyo dan tokoh lain yang dikenal dengan nama Mbah Monyet—dua sosok yang dipercaya mendirikan desa ini pada tahun 1755.
Ritual dimulai dari makam para pendiri. Sesepuh desa memimpin prosesi doa, sementara warga mengikuti dalam keheningan penuh khidmat.
Dari sana, rombongan kembali menyusuri jalan desa. Di sepanjang jalan tengah, para ibu sudah berbaris menunggu. Mereka tersenyum, menyambut rombongan dengan tenongan di atas kepala, siap diarak mengelilingi kampung.
Tenongan-tenongan itu kemudian dibawa menuju pendopo desa, yang hari itu difungsikan sebagai pusat acara.
Di sanalah rangkaian kesenian rakyat digelar—mengisi hari-hari perayaan yang tahun ini berlangsung selama empat hari, mulai Kamis (26/6) hingga Minggu (29/6).
Yang tak kalah ditunggu adalah momen klimaks: tenongan-tenongan itu ditata rapi di jalan, siap “direbut”. Dalam hitungan menit, ratusan tenongan lenyap, bukan karena keajaiban, tapi karena antusiasme pengunjung yang luar biasa.
Ada semacam kebahagiaan kolektif dalam ritual rebutan ini—seperti tanda bahwa makanan yang dibawa dengan niat baik harus dibagi dengan cara yang menyenangkan.
“Giyanti tidak bisa dilepaskan dari nama Tumenggung Mertoloyo. Dialah yang memberi nama desa ini. Kami hanya melanjutkan apa yang dulu sudah dilakukan para pendahulu,” kata Dwi Pranyoto, budayawan setempat yang selalu terlibat dalam pelestarian tradisi ini.
Ia menambahkan, dulu Rakanan hanya dilakukan secara sederhana. Warga datang dengan membawa makanan sendiri, duduk bersama, dan saling bertukar hidangan. Dari sanalah istilah “rakanan”—yang berarti menaruh makanan di rakan atau tenong—muncul dan menjadi ciri khas Desa Giyanti.
Kini, seiring waktu, Rakanan bukan hanya soal makanan. Ia menjelma menjadi ruang perjumpaan, ajang pertunjukan budaya, bahkan simbol toleransi.
Malam harinya, kegiatan dilanjutkan dengan ibadah bersama. Warga Muslim, Kristen, dan penghayat kepercayaan berkumpul, masing-masing menjalankan doa dalam keyakinan yang berbeda namun dengan tujuan yang sama: bersyukur dan menjaga kerukunan.
Satu hal yang mungkin berbeda tahun ini adalah absennya wisuda lengger, tradisi khas yang biasa diadakan dua tahun sekali untuk mewisuda para penari lengger perempuan sebagai simbol keberanian dan pengabdian pada budaya.
Meski begitu, semangat warga tak berkurang. Semua elemen masyarakat turun tangan, dari remaja hingga para tetua. Mereka percaya, selama Rakanan masih digelar, selama itu pula identitas Giyanti akan tetap hidup.
Tradisi ini tak hanya dirayakan, tapi dirawat. Tak heran jika setiap tahunnya, Rakanan menarik minat wisatawan dari berbagai daerah.
Mereka datang tak hanya untuk menonton, tapi juga untuk merasakan bagaimana tradisi bisa hidup, berkembang, dan menyentuh banyak orang.
Bagi warga Giyanti, Rakanan bukan sekadar agenda tahunan. Ini adalah cara mereka berkata: “Kami masih di sini, menjaga yang diwariskan, merawat yang dititipkan.” Dan dalam setiap tenong yang diusung, terselip cinta yang tak pernah usang untuk budaya Jawa yang luhur.***
Editor : Agus Hidayat