SOERACHMAN TJOKROADISURJO: Putra Wonosobo yang Menjadi Rektor Pertama UI

11 Views
5 Min Read
Ir. Pandji Soerachman Tjokroadisoerjo, putra Bupati Wonosobo ketiga yang diangkat menjadi Rektor Pertama Universitas Indonesia. ( wikipedia)

Wonosobo, LintasTopik.com – Pada 30 Agustus 1894, di sebuah pendapa yang teduh di jantung Wonosobo, lahirlah seorang bayi laki-laki dari keluarga bangsawan. Ia adalah putra dari R.M.T. Soerjohadikoesoemo, Bupati Wonosobo ke-3. Anak itu diberi nama Raden Mas Panji Soerachman Tjokroadisurjo.

Lahir dari darah biru, Soerachman semestinya tinggal di jalur nyaman: meneruskan jabatan ayahnya, hidup di antara tembang dan tata krama keratonan. Tapi takdir menuliskan rute yang jauh lebih berliku, dan Soerachman tak pernah mengeluh melangkahinya.

Soerachman kecil tumbuh dalam lingkungan keluarga priayi, namun sejak usia dini sudah menunjukkan ketertarikan pada dunia di luar tembok pendapa kabupaten.

 Alih-alih bermain dengan sesama bangsawan, ia lebih senang berkumpul dengan anak-anak kampung.

Itu mungkin awal dari kesadarannya: bahwa martabat manusia tidak ditentukan oleh gelar, tapi oleh kemauan belajar dan memberi makna bagi sesama.

Menempuh Ilmu ke Negeri Penjajah

- Advertisement -

Setelah menyelesaikan sekolah dasar di Europeesche Lagere School (ELS) dan menengah di Hogere Burgerschool (HBS) di Batavia, ia mendapat beasiswa langka dari Pemerintah Hindia Belanda: belajar ke Technische Hoogeschool Delft, Belanda.

Di tengah kerasnya iklim Eropa dan rasisme kolonial, Soerachman bertahan. Tahun 1920, ia lulus sebagai insinyur kimia pribumi pertama dari Hindia Belanda.

 Banyak orang menyangka ia akan pulang dan menjadi bupati menggantikan ayahnya. Tapi ia justru menolak.

“Saya tidak ingin hidup dari jabatan yang diwariskan,” kata Soerachman dalam surat yang dikutip oleh Ensiklopedia Kemendikbud.

Ia juga menolak menjadi perwira polisi kolonial. Pilihan hidupnya: bekerja sebagai analis kimia di Bandung, membantu perajin batik dan logam rakyat kecil agar bisa memproduksi barang dengan kualitas lebih baik.

Meski bukan orator seperti Bung Karno, Soerachman adalah pemikir dan penyokong gerakan kemerdekaan dari balik layar. Ia turut mendanai dan mengarahkan diskusi-diskusi intelektual kaum muda. Dalam proses menuju Sumpah Pemuda 1928, ia memberi akses pada tokoh-tokoh pelajar yang terpinggirkan secara ekonomi dan sosial.

- Advertisement -

Karena aktivitasnya yang dicurigai oleh pemerintah kolonial, ia dipindah-pindahkan: dari Bandung ke Bogor, lalu Yogyakarta, dan kembali ke Batavia. Tapi ide dan semangatnya tak bisa dibungkam.

Pada 1945, ia diangkat menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Ia bukan sekadar hadir. Dalam sidang-sidang penting, Soerachman aktif menyusun konsep sistem ekonomi nasional yang mandiri dan tidak bergantung pada kekuatan asing.

Setelah kemerdekaan diproklamasikan, ia ditunjuk sebagai Menteri Kemakmuran dalam kabinet pertama Republik Indonesia (Agustus–November 1945). Beberapa terobosan yang ia buat di masa itu:

  • Peluncuran ORI (Oeang Republik Indonesia) untuk menggantikan uang Jepang,
  • Upaya nasionalisasi industri strategis,
  • Kenaikan gaji 45% untuk pegawai negeri sipil agar birokrasi tetap bertahan.

Kemudian, ia menjabat Menteri Keuangan dalam Kabinet Sjahrir. Ia menerbitkan obligasi nasional sebagai bentuk gotong royong rakyat untuk membiayai negara.

Rektor Pertama Universitas Indonesia

Setelah Indonesia diakui secara internasional, Soerachman dipercaya menjadi Rektor pertama Universitas Indonesia (UI) pada tahun 1950. Ia memimpin transisi dari sistem kolonial ke sistem pendidikan nasional. Di bawah kepemimpinannya, UI mulai membangun identitas keilmuan yang tidak hanya elitis, tapi juga berpihak pada rakyat.

UI tak hanya menjadi tempat belajar, tapi tempat merumuskan masa depan bangsa.

Pada 1952, ia memimpin delegasi diplomatik ke Belanda untuk menegosiasikan pengambilalihan perusahaan-perusahaan tambang milik Belanda. Namun di tengah misi penting itu, ia mengalami tekanan darah tinggi dan wafat di Den Haag pada 16 November 1952.

Hari ini, nama Soerachman mungkin tak setenar tokoh lain. Tapi bagi Wonosobo, ia adalah cermin terbaik dari watak warga pegunungan yang sederhana tapi keras hati.

Lahir di kota kecil, berkeliling dunia, lalu kembali membaktikan hidupnya bagi republik. Ia tidak menjadikan Wonosobo sekadar tempat lahir, tapi akar yang menguatkan langkahnya ke panggung sejarah nasional.

Kini, di usia ke-200 Wonosobo, nama Soerachman seharusnya kembali dipeluk. Bukan hanya sebagai kebanggaan masa lalu, tapi juga inspirasi masa depan. Barangkali sudah saatnya Wonosobo memberi nama jalan, sekolah, atau beasiswa atas namanya.

Agar anak-anak muda dari lereng Sumbing dan Sindoro tahu, bahwa dari kabut desa kecil ini, pernah lahir seseorang yang mengukir sejarah di jantung Republik.***

Dari berbagai sumber

Editor: Agus Hidayat
Tulisan ini adalah bagian dari seri “200 Tahun Wonosobo: Jejak, Budaya, dan Harapan”

Share This Article
Leave a Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Exit mobile version