Wonosobo (Lintas Topik.Com) – Hari masih gelap ketika suara kipasan bambu mulai terdengar dari teras sebuah toko sepatu yang masih tutup di Plaza Wonosobo. Asap tipis mengepul dari anglo yang menyala perlahan, menyebarkan aroma roti bakar dan mentega yang khas.
Di sudut sederhana itulah,tangkup demi tangkup roti itu mulai dibakar, beradu dengan nyala bara api yang menghangatkan pagi. Orang-orang rela antre, duduk berjejal, bahkan menggelar tikar di trotoar. Hanya demi sarapan sederhana: roti bakar gula pasir dan segelas kopi hangat.
Sudah 21 tahun, Suradi menggeluti profesi sebagai penjual roti bakar jadul. Ia berjualan di depan sebuah toko sepatu di lantai dasar Plaza Wonosobo, tepat di Jalan A. Yani, persis di seberang Pasar Induk Wonosobo. Lapaknya bukan kedai mewah, hanya deretan meja usang dengan satu anglo. Beberapa meja kayu beralasakan taplak plastic dan kursi disiapkan untuk pengunjung yang datang.
Sederhana sih namun jangan ditanya soal pembelinya,. Mereka datang silih berganti dan kadang harus rela menunggu pesanannya siap dibakar karena memang antre.
“Dulu yang sering beli itu orang-orang dari luar kota yang pulang, atau pedagang pasar pagi. Sekarang malah banyak anak-anak muda yang nongkrong,” ujar Suradi sambil terus membuat minuman pesanan pelanggannya.
Suradi membuka lapaknya sejak pukul 04.00 dini hari hingga toko sepatu mulai beroperasi sekitar 08.30 pagi. Ia hanya ditemani satu orang karyawan yang bertugas membakar roti sesuai pesanan pembeli. Setiap hari, ia membawa sekitar 280 tangkup roti tawar, dan pada akhir pekan atau hari libur, jumlah itu bisa meningkat dua kali lipat.
Bukan hanya roti bakar, Suradi juga menyajikan nasi gudeg, meski sebagian besar pelanggan lebih memilih roti bakar dan segelas kopi atau susu sebagai teman sarapan mereka. Harga satu tangkup roti hanya Rp3.500, sedangkan segelas susu atau kopi dibanderol Rp5.000.
Yang membuat roti bakar Suradi istimewa adalah kesederhanaannya. Roti yang ia gunakan adalah roti tawar jadul, yang kini mulai langka. Roti itu ia dapatkan dari pembuat roti legendaris di Wonosobo. Menjelang sore, Suradi mulai mengolesi roti-roti itu dengan mentega dan taburan gula pasir—hanya itu, tanpa topping kekinian.
“Kenapa gula pasir? Karena kalau pakai selai atau cokelat, bisa gosong di api arang. Kalau gula pasir, tetap manis dan renyah,” jelasnya. Cara ini ia pelajari dari sang ayah, yang dulu juga berjualan roti bakar dengan cara yang sama.
Dengan capitan klasik, Suradi membakar rotinya selama beberapa menit. Semua proses dilakukan di atas anglo arang, bukan kompor gas. Kipas bambu tak pernah lepas dari tangannya. Suasana yang diciptakan seolah mengajak pelanggan melintasi waktu ke masa lalu.
Tak heran, banyak pelanggan yang tak kebagian tempat duduk di meja kayu yang disediakan. Beberapa membawa tikar sendiri, duduk santai di trotoar sambil menyesap kopi dan bercakap ringan.
Bagi Suradi, kebahagiaan bukan soal omzet atau seberapa viral lapaknya di media sosial. “Saya sudah sangat bersyukur. Roti sederhana ini sudah cukup untuk menghidupi keluarga saya,” ujarnya pelan.
Dalam setiap gigitannya, roti bakar Suradi menyimpan cerita tentang kesetiaan, warisan rasa, dan kehangatan pagi yang tak pernah berubah. Di tengah hiruk-pikuk kota yang terus bergerak cepat, Suradi hadir sebagai pengingat bahwa hal-hal sederhana kadang justru yang paling dirindukan.(***)
Editor : Agus Hidayat