Agung Wiera: Memotret Luka, Menemukan Harapan — Sebuah Rekam Jejak Mata Hati

203 Views
5 Min Read
Agung Wiera, fotografer senior Wonosobo ( dok Agung Wiera)

“Saya malu. Tapi lebih malu lagi kalau anak-anak saya kelaparan.”
Kalimat itu meluncur lirih dari bibir Agung Wiera—saat mengenang masa-masa paling kelam dalam hidupnya. Kala lensa yang ia cintai nyaris tak bisa lagi digunakan untuk melihat masa depan. Di titik itu, dia bukan lagi fotografer dengan segudang penghargaan. Dia hanya seorang pria yang mencoba bertahan, jadi jasa pengantaran makanan, demi sesuap nasi.

Tahun 2007 adalah tahun yang ingin ia kubur, namun justru menjadi penggalan hidup yang membentuknya kembali dari puing-puing.
Segalanya runtuh beruntun. File foto pengantin yang belum sempat diolah lenyap karena kerusakan komputer. Lalu kamera digital barunya—yang dibeli dengan pinjaman bank—terjatuh ke sungai saat sesi prewedding. Seakan belum cukup, anaknya meninggal saat lahir. Sebulan kemudian, ibunya menyusul pergi.

“Waktu itu, saya benar-benar kosong,” ucapnya.
Tidak ada cahaya. Tidak ada fokus. Tidak ada lagi keinginan untuk mengangkat kamera.

Lensa Pertama, Cinta yang Awal

Namun hidup Agung Wiera tak selalu sekelam itu. Ia memulai langkahnya dengan tangan kosong, tapi hati penuh semangat.
Di tahun 1981, saat masih kuliah di Akademi Pembangunan Masyarakat Desa (APMD) Jogjakarta, ia ditunjuk menjadi dokumentator kegiatan kampus—meski bahkan belum punya kamera sendiri. Ia pinjam milik teman. Dari situlah, benih cinta pada fotografi tumbuh.

Agung Wiera saat menggelar Pameran Foto Rekam Jejak Mata hati bulan Februari 2025 lalu. ( dok Agung Wiera)

Kegigihannya begitu kuat. Ia belajar secara otodidak, ikut membantu teman memotret pengantin, dan terus mengasah diri. Meski sempat frustrasi karena fotonya ditolak media, sinar harapan muncul saat fotonya dijadikan cover majalah berbahasa Jawa. Honor pertamanya: Rp15 ribu.
Namun nilai emosionalnya jauh lebih besar.
“Itu titik saya merasa dihargai,” kenangnya.

- Advertisement -

Membingkai Budaya, Menerangi Warna Lokal

Setelah lulus, Agung kembali ke kampung halamannya di Wonosobo. Ia melanjutkan profesinya sebagai fotografer pengantin. Tapi hatinya tak pernah puas. Ia mengikuti kursus fotografi singkat di Jogja, memperluas jejaring, dan mulai rutin mengirim karya ke media.

Satu fotonya dimuat di harian Kompas, dan itu jadi tonggak penting. Gayanya yang khas—menggunakan backlighting dan komposisi warna cerah yang menonjolkan unsur budaya lokal—perlahan menjadi identitas visualnya.

Dia mencapai masa emas di tahun 1990-an hingga awal 2000-an. Orderan foto tak henti berdatangan, penghargaan demi penghargaan dikoleksi. Puncaknya, pada 2009, ia dianugerahi gelar A FPSI dari Federasi Perkumpulan Senifoto Indonesia—buah dari 17 tahun konsistensi dan kerja keras.

Hidup dalam Kabut, Mencari Fokus Baru

Tapi masa keemasan tak bertahan selamanya. Teknologi berubah. Fotografi digital mendominasi. Pasar mulai bergeser. Tahun 2005, pesanan mulai surut. Namun Agung masih tetap aktif berpameran dan mendokumentasikan destinasi wisata untuk dinas pariwisata.

- Advertisement -

Lalu datanglah 2007, tahun ketika semesta seperti mencabut semua cahaya dari hidupnya.

Tak ada kamera, tak ada semangat, tak ada tumpuan.
Akhirnya, untuk bertahan, Agung memilih jadi kernet dan tukang parkir. “Yang penting anak-anak makan,” katanya pelan, matanya menerawang.
Rasa malu menyesakkan, tapi ia terus bertahan.

Titik Balik: Memenangkan Harapan

Sinar kecil mulai muncul saat sebuah kesempatan datang: memotret objek wisata untuk lomba provinsi. Agung, yang hanya punya peralatan seadanya, memotret dengan sepenuh hati—seolah bertaruh seluruh jiwanya.
Hasilnya? Juara pertama.
Kemenangan itu tak hanya memberi uang, tapi mengembalikan kepercayaan dirinya yang lama hilang.

Dari sana, Agung kembali berdiri. Sedikit demi sedikit, ia membangun ulang dunianya.

Rekam Jejak Mata Hati

Pameran demi pameran kembali ia jalani. Salah satu yang paling fenomenal adalah saat ia menciptakan karya foto kolosal Telaga Warna dari 36.500 foto ukuran 4×6 cm, yang mencatatkan namanya dalam Rekor MURI.

Tahun 2025, ia menggelar pameran bertajuk “Rekam Jejak Mata Hati” di Wonosobo—sebuah simbol bahwa karya fotografi bukan hanya soal teknis dan alat, tapi tentang kejujuran rasa dan ketulusan jiwa.

Cahaya yang Tak Pernah Padam

Karya-karyanya kini bisa ditemukan di berbagai buku fotografi daerah dan nasional. Tapi yang paling abadi adalah jejaknya sebagai manusia yang tak menyerah—meski dunia sempat mengguncangnya tanpa ampun.

Bagi Agung Wiera, fotografi bukan sekadar profesi.
Ia adalah doa visual, cara untuk memeluk luka, dan jalan pulang menuju harapan.

“Kamera itu seperti sahabat. Kadang dia jatuh, kadang rusak. Tapi selama hati masih bisa melihat, saya akan terus memotret,” pungkasnya.***

Editor : Agus Hidayat

Share This Article
Leave a Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Exit mobile version